Senin, 12 Agustus 2019

Lada sicupak

Pada tanggal 8 Oktober 1865, Residen Netscher dengan pasukannya melakukan penggempuran terhadap benteng pertahanan kerajaan Aceh di pantai timur sumatera, Pulau kampei. Setelah benteng pertahanan ini berhasil dikuasai Belanda, pada tanggal 14 Oktober 1865, Tuanku Hitam (adik Tuanku Hasyim), Teuku Muda Cut Latief  Meureudu, dan Teuku Nyak Makam mengundurkan diri ke Manyak Paet, Langsar dan Peureulak.  Beberapa persenjataan dan alat tempur termasuk meriam bantuan Turki Utsmani juga turut diselamatkan dan diangkut dengan beberapa kapal. Pasca jatuhnya Seruway ke tangan Belanda, Teuku Panglima Nyak Makam menyingkir Ke Jingki Peureulak. Jingki merupakan bagian wilayah yang penduduknya berasal asal Aceh Besar dan dipimpin oleh Teuku Chik Tibang Muhammad Husin. Setelah meletusnya peperangan Aceh dan Belanda secara terbuka, pada tahun 1885 Sultan Muhammad Daud Syah di markas Keumala Pidie mengangkat Panglima Teuku Nyak Makam sebagai Mudabbirusyarqiah (Panglima Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan Aceh Timur) dan menunjuk Teuku Nyak Muhammad (Nyak Mamat) dari Peureulak. Mereka ditunjuk untuk gpasukan muslimin di wilayah pantai Timur dan menggalang dukungan rakyat untuk sama-sama melakukan perlawanan dan penyerangan terhadap patroli dan fasilitas Belanda.
Menggunakan sisa-sisa persenjataan yang berhasil diselamatkan dari Pulau kapai dan dukungan beberapa tokoh mulai melakukan penyerangan terhadap fasilitas Belanda yang berada di Aceh Timur, seperti pengeboran minyak Rantau Peureulak dan  benteng Bukit syahbandar dan pelabuhan Idi. Beberapa tokoh tersebut diantaranya; Teuku Yusuf Ulee Gajah, Teuku Bukit Pala dan Teuku Nyak Bahrum Idi, Teuku Panglima Kaum Lam Baet dan Teuku Abu Peudawa Rayeuk, Teuku Tibang Muhammad Husin dan anaknya Teuku Nyak Gam dari Lintang Peureulak, Teuku Meurah Din dan Teuku Meudagu dari Peureulak, Nyak Umar dari Alur Nireh, Teuku Daud dari Lhok, dan Panglima Perang Beuni dari Bayeuen.
Pada ekpedisi militer I tahun 1889-1891, Gubernur sipil dan Militer di Kutaraja, Van Tegn, mengirimkan ratusan pasukan Mersose untuk menyerang pertahanan pasukan muslimin yang berada Peudawa Puntong, buket Mata Ie, bukit Peulawi, Bintara Blang, Bukit Rumia dan Ulee Gajah Bagok. Jingki dan paya aneuh menjadi kamp. pelatihan pasukan muslimin  sebelum diterjunkan untuk menyokong pasukan Teuku Abu Peudawa dan Teuku Nyak Makam di Idi. Teuku Abu Peudawa tewas (tahun 1888) dalam upaya merebut Benteng pertahanan Belanda di Buket Syahbandar Idi dan jasadnya dikuburkan di pekarangan Mesjid Agung Darussalihin Idi. Teuku Yusuf Ulee Gajah tewas pada Agustus1889 dalam peperangan di Bagok, Teuku Nyak Gam tewas pada Agustus 1889 di Buket Mata Ie dan dikuburkan di Seuneubok Aceh Keude Dua, dan Nyak Umar dari Aceh Besar tewas  tahun 1890 dalam penghadangan terhadap kapal Belanda yang mencoba menggempur Jingki melalui sungai Alue Nireh karena dianggap Teuku Chik Tibang selalu membantu dan menggirimkan pasukannya dalam setiap peperangan ke Idi disamping wilayah ini merupakan konsentrasi perjuangan Teuku Nyak Makam dkk.
Pada tanggal 6 Juli 1898, Gubernur Militer di Kutaraja Kembali mengirimkan ekpedisi militer II ke Aceh Timur. Kapten J.B. Van Heusz dan beberapa batalyon pasukan Mersose diperintahkan ke Idi untuk memburu dan memadamkan perlawanan Teungku Tapa di Peureulak. Menurut Snouck Hurgronje dalam Het Gajoland en Zijne Bewoners), Teungku Tapa dan pasukannya sangat ditakuti Belanda dan dalam setiap penyerangannya acapkali membawa kerugian besar bagi pemerintahan Belanda. Berbekal beberapa meriam eks Pulau Kampeih dan persenjataan yang diseludupkan melalui jalur laut Peureulak dan kuala Idi, Teungku Tapa, dan pengikutnya selalu berkonsentarasi di pesisir pantai seperti Kuala Bugak, Alue Nireih dan Geulanggang Merak, mereka kerapkali melakukan gangguan dan serangan terhadap fasilitas ekplorasi minyak milik Belanda di Rantau Panjang. Bahkan sering terjadi Nyak Mamat dan beberapa pengikutnya juga menlakukan perompakan dan membakar setiap kapal pengangkut minyak milik perusahaan Belanda di laut Peureulak.
Setibanya Van Heutz dan pasukannya di Peureulak, Teungku Tapa dan pengikutnya telah menghindar ke Teupin Batee Idi. sehingga Van Heutz kembali melakukan pengejaran Teungku Tapa Ke Idi Rayeuk. Dengan dukungan Teuku Nyak Lambak (sepupu Teuku Nyak Bugam, Uleebalang Idi Cut) dan Panglima Prang Hakim (Uleebalang Julok Cut), Teungku Tapa kembali melanjutkan perjuangan di Idi dan sekitarnya hingga akhirnya wafat dalam peperangan di Jambo Ayee Pase tahun 1900. Masyarakat pesisir yang selama ini dianggap berkonstribusi dalam membantu perjuangan Teungku Tapa seperti Blang Balok, Kuala Beukah, Alue Nireh dan Sungai Raya dihukum dengan dikenakan denda oleh van Heutz sebesar 150.000 Gulden.  Beberapa meriam yang digunakan Teungku Tapa dan tidak sempat diangkut pasukannya dikuburkan di beberapa titik pesisir pantai.

##Dipetik dan dirangkum dari beberapa sumber yang relevan dengan perjuangan rakyat Aceh dalam menghadapi Aceh khususnya di pantai Timur Aceh.
Wassalam.

Minggu, 23 Desember 2018

tgk sofyan ibrahim tiba

https://jumpueng.blogspot.com/2012/08/benarkah-negara-aceh-belum-bubar.html?m=1






Home  catatan  Benarkah Negara Aceh Belum Bubar?

Benarkah Negara Aceh Belum Bubar?

 Penulis Taufik Al Mubarak

Saya tertarik menulis posting ini setelah melihat gambar Tgk Sofyan Ibrahim Tiba bersama Adnan Buyung Nasution diposting oleh Hendra Budian di wall Facebook miliknya. Hendra memberi keterangan foto tersebut, “Pahlawan perdamaian Aceh bersama pengacaranya ketika juru damai didakwa sbg teroris...”Ya, semasa hidupnya, Sofyan Ibrahim Tiba selain sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh, beliau juga terlibat sebagai juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

screenshot fb

Teungku Sofyan asli putra Pidie. Dia lahir di desa Tiba, Beureuenuen, Mutiara, pada 17 Juli 1947. Tak ada yang tahu kapan persisnya beliau terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka yang didirikan oleh Teungku Hasan diTiro. Namun, saya pernah membaca satu buku yang ditulisnya, Referendum Aceh Ditinjau dari Aspek Hukum Internasional. Ini buku cukup menarik dan aktual karena ditulis ketika tuntutan referendum Aceh menggema di seluruh Aceh serta menjadi perhatian public nasional dan internasional. Teungku Sofyan menyorot soal referendum Aceh dari aspek hukum internasional serta hak asasi manusia. Dari buku tersebut, jelas menunjukkan, bahwa Sofyan Ibrahim Tiba menaruh perhatian besar pada gerakan pembebasan Aceh.

Saya pernah memiliki buku Referendum Aceh tersebut, hadiah dari putra beliau, Oki Rahmatna Tiba (Oki Tiba). Buku itu dihadiahkan untuk saya ketika sedang menyelesaikan skripsi Propaganda Sentral Informasi Referendum Aceh. Namun, sialnya, buku tersebut hilang (kasarnya dicuri) dari tumpukan buku di rumah kost saya. Saya sangat yakin, ada teman yang sengaja mengambil buku itu dan tidak mau mengembalikan lagi. Beruntungnya, saya sempat mencatat beberapa bagian penting buku tersebut untuk skripsi saya.---> Jika sempat membaca bagian ini sang teman yang mengambil buku tersebut agar mau mengembalikan untuk saya.

Lalu, apa hubungannya dengan judul di atas? Baca saja, nanti pembaca akan tahu sendiri bagaimana kaitannya. Sebagai informasi, Teungku Sofyan Ibrahim Tiba terlibat sebagai perunding GAM sejak 2000 ketika tercapai kesepakatan Jeda Kemanusiaan antara Pemerintah RI dan GAM. Setelah Jeda Kemanusiaan berakhir, Teungku Sofyan menjadi utusan khusus GAM sekaligus sebagai Ketua Tim Perunding di Joint Security Committee (JSC). JSC yang dipimpin Thanongsuk Tuvinum, perwira militer asal Thailand, merupakan  lembaga bersama antara GAM, Pemerintah RI, dan Tim Pemantau Asing dari Hendry Dunant Centre (HDC) yang memediasi dialog di Jenewa yang dikenal dengan CoHA (Cessation of Hostilities Agreement).  CoHA disepakati pada 9 Desember 2002.

Kesepakatan CoHA ternyata tak bertahan lama. Karena, perselisihan pendapat terus terjadi antar para pihak. Terakhir, pihak GAM meminta HDC agar mengeluarkan tim pemantau dari Philipina yang diduga terlalu memihak Pemerintah Indonesia. Selain itu kerap terjadi pelanggaran terhadap zona damai. Terakhir, terjadi pembakaran kantor JSC Aceh Tengah oleh para milisi. Sejak saat itu, kondisi Aceh kembali memanas, hingga muncul tuntutan pembubaran JSC dan pencabutan mandate terhadap HDC.

Para pihak kemudian sepakat untuk berunding kembali yang difasilitasi oleh Amerika, Uni Eropa dan Pemerintah Jepang di Tokyo. Namun, para juru runding GAM yang hendak hadir ke Tokyo ditangkap. Mereka dilarang meninggalkan Aceh untuk waktu yang tidak ditentukan. Perundingan Tokyo juga gagal meredam situasi Aceh yang memanas. CoHA tak bisa diselamatkan.

Puncaknya, pada 19 Mei 2003, Presiden Megawati mengumumkan penerapkan darurat militer di Aceh. Akibatnya, Sofyan Ibrahim Tiba dan tim JSC dari GAM seperti Amni Ahmad Marzuki, Muhammad Usman Lampoh Awe, Nashrudin bin Ahmed ditangkap di Hotel Kuala Tripa. Mereka dituduh makar dan terlibat terorisme, dan dihukum 15 tahun penjara.

Dalam satu persidangan yang digelar di PN Banda Aceh pada Kamis, 9 Oktober 2003, Teungku Sofyan Ibrahim Tiba menyampaikan tanggapan atas tuntutan jaksa penuntun umum. Judul tanggapannya, “Sesungguhnya Negara Aceh Belum Bubar”. Pledoi itu berjumlah 39 (sama dengan nomor urut Partai Aceh dalam Pemilu 2009, hehehe) halaman. Isinya, sangat beragam, dari soal sejarah konflik Aceh, legalitas perjuangan GAM, hingga tuntutan GAM ditinjau dari aspek hukum internasional.

Saya hanya mengutip beberapa bagian saja. Menurutnya, Konflik Aceh juga dapat dipandang dan dianalisa dengan beberapa jenis hukum tertentu terhadap tindakan dan tujuan Gerakan Aceh Merdeka, yaitu:

Pertama, Dalam Analisa Hukum Tata Negara Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka yang berjuang memperoleh kemerdekaan kepada Aceh, sesungguhnya tidak melawan hukum. Alenia pertama UUD 1945 memberi peluang untuk mencapai tujuan itu sebagai hak Bangsa Aceh, ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala Bangsa, dan oleh karena itu semua penjajahan di atas dunia, harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Status Aceh jelas sebagai sebuah Bangsa, bukan Suku Bangsa. Karena untuk menyebutkan Aceh sebagai sebuah Suku Bangsa, tidak ada rujukan yang jelas. Akan tetapi menyangkut dengan status Aceh sebagai sebuah Bangsa, jelas merupakan suatu ketentuan di dalam Ilmu Negara tentang teori hapusnya suatu negara atau suatu Bangsa.

“Suatu negara atau bangsa yang telah ada di dunia hanya akan hilang statusnya kalau terhadapnya akan terjadi salah satu dari 2 sebab, yaitu pertama alasan alam, kalau misalnya buminya hancur/tenggelam menjadi lautan, dan kedua karena alasan politis, kalau Bangsa dari negara itu telah menggabungkan diri dengan suatu bangsa lain. Penggabungan yang dimaksudkan itu boleh menjadi bagian dari suatu negara lain, ataupun mendirikan sebuah negara bersama. Kita memaklumi bahwa Bangsa Aceh pada ketika pendudukan Belanda tidak pernah mengakui kedaulatan Belanda di Aceh. Dalam kedaulatan NKRI hingga sekarang secara prosedur yang patut, Aceh belum pernah dilaksanakan proses penggabungan. Dengan demikian menurut Hukum Tata Negara Indonesia, Aceh berhak untuk mendapatkan kemerdekaannya kembali. Hak dari bangsa Aceh yang dimaksudkan itu, juga ada kepentingan Bangsa Indonesia untuk mempertegas dan menjawab tuduhan Gerakan Aceh Merdeka yang menyatakan bahwa Pemerintahan Indonesia atas Aceh adalah kolonialis atau penjajahan. Bahwa Aceh untuk menjadi sebuah negara merdeka yang merupakan haknya atau menjadi bagian dari NKRI bila rakyat tetap menghendaki haruslah ditempuh melalui proses yang patut.”

Kedua, Analisa Hukum Internasional. Hak menentukan nasib sendiri rakyat dan kesatuan-kesatuan yang belum merdeka diakui secara tegas oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa dalam Resolusi tentang Penentuan Nasib Sendiri (Resolution on Self Determination) tanggal 12 Desember 1958. Pada tanggal 10 November 1975, Majelis Umum kembali mengeluarkan sebuah Resolusi, “Pentingnya realisasi universal atas hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, terhadap kedaulatan nasional dan integritas wilayah, dan mempercepat pemberian kemerdekaan kepada negeri-negeri dan rakyat-rakyat terjajah sebagai kewajiban untuk dinikmatinya hak-hak manusia.”

Tampaknya hak untuk menentukan nasib sendiri berkonotasi kepada kebebasan untuk memilih dari rakyat yang belum merdeka melalui plebisit atau metode-metode lainnya untuk memastikan kehendak rakyat.

Ketiga, Analisa Hukum Islam. Para Fuqaha (ahli-ahli hukum Islam) berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat keharusan untuk mendirikan suatu negara Islam. Tidak ada sumber-sumber hukum yang konkrit bagaimana bentuk difinitif dari suatu negara Islam. Akan tetapi untuk membentuk dan mempertahankan keberadaan suatu negara mesti merujuk kepada hukum-hukum agama. Banyak pengalaman bangsa-bangsa di dunia untuk membentuk suatu negara dan dalam mempertahankan keberadaan suatu negara, tidak bisa mengelak dari keharusan untuk berperang atau menggelar perang. Sumber hukum Islam utama yaitu Al Quran dan sumber hukum Islam kedua Al Hadis, tidak mengatur dengan siapa boleh dan tidak boleh berperang.

Akan tetapi menurut sumber hukum Islam yang ketiga, yaitu Ijmak (kesepakatan para ulama) dengan tegas telah memfatwakan bahwa karena 3 alasan, Islam membenarkan bahkan mewajibkan untuk menggelar perang. Dan seseorang yang mati karena berperang dengan 3 alasan itu, akan mendapat pahala syahid.

Alasan-alasan berperang, yaitu 1) kalau diserang oleh suatu negara asing. Tidak dijalaskan negara yang menyerang itu beragama Islam ataupun bukan,

2) kalau dizalimi. Baik terhadap nyawa atau pun harta, oleh siapapun, termasuk kalau dizalimi oleh aparat negara sendiri, jelas melanggar HAM.

3) kalau agama dilecehkan dan dihambat kesempatan beribadah.

Teungku Sofyan menjelaskan bahwa konflik bersenjata (perang) yang terjadi di Aceh, memang tidak dapat dikaitkan dengan alasan pertama dan ketiga. Tapi, yang menjadi landasan adalah alasan kedua yaitu karena dizalimi oleh aparat negara terhadap nyawa dan harta. Alasan itulah yang merasupi semangat juang para prajurit TNA yang bertempur di lapangan.

GAM Ingin Sempurnakan Syarat Bernegara

Menurut Teungku Sofyan Ibrahim Tiba, GAM sebagai pejuang hak-hak Bangsa Aceh bertujuan untuk menegakkan kembali kedaulatan Negara Aceh yang bermasalah sejak pendudukan Belanda tahun 1873. Caranya, kata Sofyan, dengan menyempurnakan syarat-syarat sahnya Negara, yaitu a). Ada Rakyat  yang mendiami suatu wilayah tertentu.  b) Ada Wilayah tertentu yang menjadi basis teritorial negara. c) Ada Pemerintah yang diakui oleh rakyatnya. d) Ada Pengakuan Internasional, ataupun kemampuan pemerintah itu untuk mengadakan hubungan internasional.

Dalam pembelaannya, Teungku Sofyan bersikukuh bahwa dari 4 syarat tersebut bagi GAM telah memperoleh 3 yaitu rakyat, wilayah dan pemerintah di bawah kepemimpinan Dr. Teungku Hasan M di Tiro. Sedangkan syarat ke-4 yaitu pengakuan internasional atau pun kemampuan pemerintah itu untuk mengadakan hubungan internasional sedang dalam perjuangan.

Menurutnya, capaian perjuangan tujuan GAM paling kurang telah mencapai 75%. Karena apabila bobot 4 syarat itu jika dianggap sama, maka tiap bobot adalah 25%. Tiga bobot yang telah ada berarti 75%.

“Dalam praktek Hukum Internasional terakhir ini syarat pengakuan internasional sudah tidak mutlak. Yang penting adalah hubungan internasional. Persyaratan ini dipraktekkan oleh Negara Cina Taiwan yang tidak mendapatkan pengakuan internasional terhadap keberadaan negaranya. Walaupun begitu dengan kemampuan pemerintahnya mengadakan hubungan internasional, negara itu tetap eksis. Namun tidak semudah itu dapat diterapkan oleh pemerintah GAM terhadap Aceh.”

Pun demikian, lanjutnya, walaupun dari segi pencapaian syarat-syarat sahnya negara telah memperoleh banyak kemajuan, misalnya dengan nilai bobot telah mencapai 75%, perjuangan kemerdekaan Aceh akan berhadapan dengan suatu kendala besar.

Teungku Sofyan menyampaikan bahwa kemerdekaan Aceh akan terlaksana dengan persetujuan 3 pihak, yaitu: Pertama, Persetujuan Bangsa Aceh. Kedua, Persetujuan MPR Indonesia. Ketiga, Persetujuan Internasional.

Dari 3 syarat persetujuan itu, lanjutnya, baru ada persetujuan bangsa Aceh. Teungku Sofyan beralasan, bila dilaksanakan poling pendapat secara jujur, langsung, bebas, dan rahasia, syarat itu akan diperoleh. ---->sebagai informasi, ketika panitia SIRA RAKAN menggelar polling soal masa depan Aceh, lebih 95% masyarakat Aceh memilih memisahkan diri dari Indonesia.

Terlihat jelas, bahwa keikutsertaan Teungku Sofyan Ibrahim Tiba dalam GAM bukan setengah-setengah, tapi secara total. Meski mendekam dalam Penjara LP Keudah, Sofyan tetap percaya konflik di Aceh tidak akan dapat diredam dengan perlawanan bersenjata oleh Indonesia. Ia pun berharap para pihak kembali ke meja perundingan, agar Aceh kembali aman dan damai. Dan juga mereka yang ditahan agar bisa kembali menghirup udara bebas.

Namun, garis hidup berkata lain. Saat Pemerintah Indonesia berusaha memindahkan tahanan GAM keluar Aceh, termasuk memindahkan para juru runding ke pulau Jawa, kondisi Sofyan sedang memburuk dan dirawat di RS Kesdam Banda Aceh. Hal itu membuatnya tidak jadi dipindahkan ke pulau jawa seperti rekan-rekannya. Beliau tetap bertahan di LP Keudah, Banda Aceh, bersama Irwandi Yusuf yang juga tokoh Gerakan Aceh Merdeka.

Teungku Sofyan Ibrahim Tiba meninggal setelah gempa dan Tsunami pada 26 Desember 2004 silam menghantam Aceh. Beliau berada di LP Keudah yang luluh lantak dihantam tsunami.

“Semoga Allah melapangkan kuburan dan menempatkan beliau di tempat yang layak.” Saya menulis komentar ini pada foto yang diposting Hendra Budian. []

Related Posts

Politik Mobilisasi Massa


Buka Puasa dengan Rokok


Sisi Manusiawi Seorang Jokowi


Aku dan Kompasiana


Kampung Saya Tak Terisolir, Kok!


Dua Model Ideologi Sepakbola


Taufik Al Mubarak

Founder https://acehpungo.com. Seorang blogger yang aktif menulis isu Aceh, jurnalisme, blogging dan artikel motivasi. Bisa disapa di twitter @almubarak.

Sepeda Motor Bebek Injeksi Kencang

Strategi Iklan Internet Murah Agar Lebih Efektif

1 comments



Balas

Aneuk Agam Atjeh 

Ijin Copy bang, Sebagai Bahan Bacaan...

Emoticon

Terpopuler

Download Film Ketika Cinta Bertasbih (KCB)


Bermimpi Jadi Menteri, Tunggu Telepon dari SBY


Aceh Pungo sudah Cetakan Kedua


Petinggi TNI Paling Dibenci di Aceh


Drop Labels

 

 Pilih Kategori   agenda 1   Arsip 3   Artikel 125   artis 7   Beasiswa 2   Berita 15   biografi 25   Blogging 14   buku 9   cang panah 10   catatan 46   catatan harian 1   Catatan Kebangsaan 1   cerita 7   editorial 50   Essay 12   features 2   Film 4   fokus 23   foto 3   hikayat 1   Humor 3   Inforial 23   internet 56   Jurnalisme 6   laporan khusus 1   Makalah 1   mutiara 2   Narasi 2   Pemerintah Aceh 2   pojok 148   puisi 1   Resensi 5   ReviewMu 1   SEO 1   serba serbi 31   Seri Pemikiran Hasan Tiro 7   Snmptn 1   sosok 8   Teknologi 1   testimoni 1   Tips 18   Traveling 18   Tugas 3   william nessen 1  

Terbaru

Cara Monetisasi Blog untuk Pemula


Cara Mendaftar Google News, Tiga Hari Langsung Diterima 


Mengapa Owner Produk Perlu Coba Sosiago Influencer Marketing?


About

Blog milik Blogger Aceh ini menyediakan informasi dan artikel tentang politik Aceh, tips menulis, jurnalistik dan menulis blog.

   

Web Tools

Contact Form


Disclaimer


Privacy Policy


Sitemap


About


Newsletter

Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email.

Copyright © 2018 JUMPUENG All Right Reserved


Managed by Aceh Pungo



Jumat, 30 November 2018

tgk chik ditiro

PERANAN TEUNGKU CHIK DI TIRO DALAM MEMPERTAHANKAN KERAJAAN ACEH DARUSSALAM



Menurut penelitian Van Langen, ada seorang ulama dari tanah jawa sekembalinya menunaikan ibadah haji di Mekkah telah singgah di Aceh, yaitu pedir, mengajar ilmu agama dan menetap di sana. Hasil pendidikan yang di kembangkannya mendapat pujian kemana-mana, dan Sulthan sendiripun menaruh simpati kepadanya. Diapun di beri kuasa pula oleh Sulthan untuk menjadi kadhi(wali hakim) di sekitar wilayah masjid raya Pidie. Setelah beberapa waktu berada di sana, diapun kawin dengan seorang wanita terkemuka di Klibeut dan tinggal di sana. Karena itu pula Ulama ini di biasakan di panggil oleh penduduk dengan sebutan Teungku Pakeh Klibut.

            Teungku Pakeh Klibut mempunyai seorang putra bernama Teungku Ubit setelah memiliki ilmu pengetahuan agama atas pendidikannya ditugaskan oleh sang ayah untuk mengajar/ menjadi guru mengaji di Tiro Cumbok. Tidak beberapa lama Teungku Ubet kawinlah di Tiro Cumbok dan menetap di sana.

            Teungku Sindri adalah ulama yang telah menunaikan hajinya ke Mekkah dan menurut Sumber di atas Teungku Sindri ini berasal dari Bugis. Teungku Aceh Klibut mempunyai seorang analk perempuan, saudara Teungku Ubit dan dikawinkanlah dengan Teungku Sindri ini untuk menggantikan jabatan kadhinya.

            Dengan perkawinan Teungku Sindri (Bugis) dengan putri Teungku Pakeh Klibut(jawa), lahirlah seorang laki-laki dan diberi nama Mat Saman. Pemuda Mat Saman ini selain belajar agama dari kedua orang tuanya, dia juga mengikuti pendidikan agama dari Tgk Chik Mat Amin dari dayah Tjut di Tiro, Keumangan. Karena ketekunannya belajar dia menjadi santri yang cerdas dan kemudian setelah memperoleh ilmu agama yang tinggi di kenal dengan Teungku Chik di Tiro, jadi nama Tiro adalah nama Tempat ia menuntut ilmu Agama. Untuk di ingat bahwa “Teungku Chik di Tiro adalah orang Aceh yang di lahirkan dengan membawa darah Bugis dan jawa”.

            Mungkin karena pengaruh ibunya atau karena gelora darah jawa di dalam tubuhnya yang telah menolong Teungku Mat Saman untuk memilih sang isteri dari keturunan jawa di Garot (Garot Pidie). Tetapi karena tidak memperoleh keturunan diapun kawin lagi dengan anak perempuan Teungku Ubit bin Teungku Pakeh Klibut keturunan Bugis di Tiro Cumbok. Dari perkawinannya ini Teungku Mat Saman memperoleh tiga orang anak: (1) Teungku Mat Amin. (2) Teungku Mahidin (Mayed). (3) Teungku Mat Amin Tiro.

            Menurut profesor Dr. Teungku Ibrahim Alfian : Ulama Besar Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman mempunyai 4 orang putera. Semua syahid, yaitu Tgk. Mat Amin 1896, Tgk. Di Teungkop 1899, Tgk. Di Bukit 21 mei 1910, Tgk. Mahidin (Mayed Pen) 5 September 1910.

            Teungku Mayed di Tiro, anak nomor dua dari Teungku Chik di Tiro ( Teungku Muhammad Saman di Tiro) mempunyai beberapa orang anak antara lain Tgk. Umar Tiro dan seorang Anak perempuan. Anak perempuan inilah yang menjadi ibu dari Hasan Muhammad Tiro. Jadi Hasan Muhammad Tiro adalah cucu dari seorang Teungku Chik di Tiro.

            Setelah mendapat laporan pada tanggal 27 Desember 1973 dalam pertempuran di Lamboe “ Aceh Besar, di mana rakyat Pidie ikut  mengirimkan pasukannya sejumlah 1500 orang lengkap dengan persenjataannya, Rakyat Garotpun ikut aktif mengirimkan bantuan untuk membangun kembali benteng Kuta Asan Pidie untuk menangkis pendaratan Belanda di Aceh Besar di bantu oleh pasukan dari pasukan dari Pidie. Maka Van Swietenpun memerintahkan suatu Eskader kapal perangnya yang terdiri dari “Zeeland” “Metalen Kruis”, “Citadel” dan “Anwerpen”, “Borneo” dan “Banda” bertolak ke Pidie untuk menghancurkan pertahanan rakyat di situ. Tanggal 28 Desember kapal-kapal itu berlayar di pidie dan Besoknya tanggal 29 Desember 1973 sudah berada di Kuala Pidie.

            Pada tanggal 30 Desember 1973, dengan serta merta berdetumlah suara letusan meriam dari kapal-kapal itu menuju ke rakyat banyak (pasar-pasar, kedai-kedai, rumah-rumah penduduk kampung) dan kemana saja secara membabi buta, tanpa mempunyai tujuan tertentu. Tanggal 31 Desember 1973 Belandapun mengadakan percobaan pendaratan. Sejumlah besar tentara laut (marinier) dikerahkan turun dalam perahu lengkap dengan senjata. Dengan diam-diam pasukan Pidie telah mengendap menanti kedatangan musuh tatkala mereka hendak mmenginjak kakinya ketanah, merekapun di sambut dengan serangan oleh pihak Aceh. Seharian terjadi pertempuran dan pada hari itu pula silih berganti perahu perang balik kekapal mengantar korban dan mendatangkan penggantinya. Akhirnya setelah petang hari Belanda mengambil kesimpulan tidak mungkin mematahkan perlawanan di situ. Mereka melihat bahwa dalam sementra itu menderu saja bala bantuan dari pedalaman. Akhirnya Belandapun berusaha menyelamatkan diri, mengangkut tentara lautnya yang masih bisa di selamatkan dan seterusnya bertolak menuju Ulehleh. Diperoleh petunjuk bahwa semenjak inipun Tgk. Chik di Tiro telah aktif mengambil bagian memimpin rakyat daripedalaman ikut bertempur melawan Belanda baik di Pidie maupun di Aceh Besar.

            Sulthan Mahmud Syah meninggal dunia karena serangan kolera setelah istana Sulthan di duduki Belanda pada tanggal 24 Januari 1874. tanggal meninggalnya perkiraan antara tanggal 28 Januari 1874 hal ini terkait dengan informasi yang di peroleh oleh Belanda dan selanjutnya di laporkan kepada Gubernur Jendral di Jakarta dengan kawat tanggal 28Januari 1874 bahwa di peroleh khabar bahwa Sulthan Mahmud Syah telah meninggal Dunia oleh kolera. Sehubungan dengan itu di kemukakannya pendapat sebagai berikut :

Jika berita kematian Sulthan benar keadaan akan lebih mudah, tapi benar tau tidakpun saya berpendapat bahwa tidaklah tepat lagi untuk mengikat perjanjian dengan Sulthan ini atau dengan Sulthan yang lain, atas alasan bahwa mereka telah membunuh utusan kita. Menguasai sendiri adalah lebih tepat “ eigen beheer is better”

Tentang saat meninggalnya Sulthan Mahmud Syah prof. Dr. T. Ibrahim Alfian dalam bukunya wajah Aceh dalam lintasan Sejarah, hal 90, mengemukakan sebagai berikut:

            “Setelah dalam dapat di rebut oleh Belanda pada tanggal 24 Januari 1874. Belanda menghentikan dahulu agresinya dengan harapan dapat tercapai persetujuan semacam traktat Siak dengan Sulthan Aceh. Pada tanggal 29 Januari 1874 Sulthan Mahmud Syah Mangkat di pagar Ayer terlilit penyakit koera dan di makamkan di Cot Bada. Pemimpin-pemimpin Aceh tetap menerusakan perklawanan terhadap Belanda”.

            Bagian yang penting dari segi peraturan politik, yang diselenggarakan dengan cepat oleh pihak Aceh yaitu menggantikan Sulthan yang telah meningal. Para panglima sagi yaitu Pangliuma Polim dari 22 Mukim, Tjut Lamreung dari 26 Mukim dan Tjut Banta dari 25 Mukim telah bulat mufakat memilih Sulthan 
(Twk. Muhammad Daud Syah, Pen.) yang masih berumur antara enam dan tujuh tahun naik tahta dengan pangkuan dewan mangkabumi (pemangku). Tuanku Hasyim yang di tunjuk sebagai ketua dewan mangkabumi (pemangku) adalah merupakan pejabat yang berwenang bertindak atas nama Sulthan.

            Mengenai umur Twk. Muhammad Daud pada saat di angkat menjadi Sulthan atau pada waktu Sulthan Mahmud meninggal dunia ada tiga versi: Versi pertama: Berumur 4-5 tahun, Versi kedua : Berumur 6-7 tahun, Versi ketiga 9 tahun ( berdasarkan laporan dariu Van Switen kepada Gubernur Jenderal Laudon tanggal 10 Februari 1874 yang berbunyi sebagai berikut: Indonesianya:” tak seorangpun yang datang Raja-raja menjauhkan diri dan mereka telah memilih tuanku Daud yang berusia 9 tahun, cucu almarhum Sulthan Mansyur Syah untuk menjadi Sulthan dengan di pangku oleh 4 orang wali.

            Mengenai penobatan Twk. Muhammad Daud menjadi Sulthan menurut Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian  adalah pada tahun 1878 ( empat tahun setelah Sulthan Mahmud Syah meninggal dunia. Pen) sebagaimana di ceritakannya dalam buku wajah Aceh Dalam lintasan sejarah , hal 98 yang berbunyi sebagai berikut:

            “ Untuk menunjukkan pada dunia luar, bahwa Aceh masih mempunyai pemerintahan, maka sesuai dengan hukum adat pembesar-pembesar Aceh menobatkan tuanku Muhammad Daud Syah sebagai Sulthan yang menetap di Masjid Indrapuri pada tahun 1878. selama  Twk Muhammad Daud Masih Belum dewasa pemerintahan di jalankan oleh Twk Hasyim seorang yang sangat taat kepada agama sebagai mangkubumi”.

            Dalam bulan Januari 1876, raja Pidie Teungku Pakeh dalam telah di hadapkan dalam suatu fait accompli. Dia lebih setahun berada di Aceh Besar membantu perjuangan di pihak Aceh, sepulangnya di pidie, dari kapal perang belanda yang mengurung pantai itu di sampaikan kepadanya  kata dua mengakui kedaulatan Belanda atau dibombardemen kembali. Teungku Pakeh Dalam memberi tahu bahwa rakyat sudah  benci Belanda karena pemboman Kuta Asan dan penyerangan Belanda, di Akhir Desember 1873.Belanda bersedia mengganti kerugian rakyat, tapi dengan lain perktaan sebetulnya Belanda berusaha melunakkan Twe Teungku Pakeh Dalam dengan menyumbangnnya uang Sebesar f. 50.000. Padea Tanggal 28 Februari 1876 Teungku Pakeh dalam meenandatangani pernyataan mengaku takluk kepada Belanda dengan mengangkat sumpah, di samping mengangkat sumpah Tgk. Pakeh Dalam harus pula membenarkan Belanda mendirikan bentengnya di Pidie. Pada tanggal 4 Juni 1876 Belanda mendaratkan pasukannya dan menempati benteng Kuta Asan di bawah komando mayor H.R.F van Teyn.

            Rakyat menjadi amat marah dengan pendaratan tentara Belanda  yang kemudian menduduki benteng Kuta Asan di Pidie pada tanggal 10 Juni 1876, terus melakukan perlawanan dan pada Bulan April dan Mei 1878 benteng itu di serbu oleh rakyat di bawah pimpinan Ulama Tiro, demikianlah pertempuran berkecamuk di mana-mana dalam wilayah Luhak Pidie dan berlangsung puluhan tahun lamanya.

            Dalam bulan Juni 1877 Habib datang ke Garot (Pidie) menemui pahlawan Ulanma Tgk Muhammad Saman di Tiro, dan Iman Long Bata, yang juga datang kesana, untuk bermusyawarah mengenai strategi perjuangan melawan Belanda hasil pertemuan itu adalah medan perang Pidie dipergiat, gerilya di Aceh Besar harus lebih di aktifkan, teerutama penyerangan ke ibu kota (Kutaraja) dan pos-pos Belanda lainnta .sesuai dengan rencana Tgk. Chik di Tiro berangkat ke Aceh Besar dan mulai memegang peran aktif di medan ;perang sekitar pemimpin perang sabil. Terutama dengan di dukung murid-muridnya baik yang sudah berada di Aceh Besar, maupun yang terus membanjir dari Garot, Tiro dan dari bagian lain dari Luhak Pidie.

            Dalam bulan Maret1878 Habib Abdurrahman menyerang lam Karak. Dua bulan kemudian di adakan musyawarah di antara pemimpin pemimpin Aceh betrtempat di Cot Bada untuk membuat rencana menyerang pertahanan Belanda. Pada bulan Juni 1878 Habib Abdurrahman bersama lebih kurang 2000 orang pasukan menyusup melalui jalan gunung dan menduduki Leupueng serta lembah Gle Taron dan bersama T.Nanta menguasai Lhoong dan menyerang pos-pos Belanda di Krueng Raba, Bukit seuboin dan Peukan Bada. Kemudian Habib beserta pasukan-pasukannya dapat di pukul mundur. Ia mengadakan hubungan dengan Tgk. Chik di Tiro yang sedang menggempur Belanda di Sigli, dan kemudian Habib mengambil posisi di Montasik  untuk mempersiapkan penyerangan baru di Mukim  IV Aceh Besar.

            Tekanan dari pejuang-pejuang Aceh berja;an terus. Hal ini menyebabkan Belkanda mengirimkan kekuatannya kebagian Selatan Aceh Besar dan Aceh Barat pada Februari dan Maret 1878. Begitu juga karena adanya serangan yang terus menerus dari Tgk. Chik di Tiro terhadap pos-pos Belanda di Gigieng Pidie, maka dalam Bulan April dan Mei 1878, Belanda mengirimkan pasukan-pasukannya ke sana di bawah pimpinan Mayor W.W. Coblijn.

            Peristiwa penyerangan Mukim VI, Aceh Besar pada tanggal 16 Juli 1878 oleh Pasukan Habib Abdurrahman di bawah pimpinan Nyak Abu , menyebabkan Belanda mengadakan kembali agresinya  di Aceh Besar. Van der Heijden membersihkan daerah-daerah yang telah di kuasai oleh Habib Abdurrahman dan Tgk Chik di Tiro. Operasi Van der Heijden ini di mulai satu minggu setelah pasukan Habib memasuki mukim VI, yaitu tepatnya pada tanggal 23 Juli 1878. pada tangggal 25 juli 1878 benteng seuneulop dapat di rebut oleh Belanda dengan korban di pihak Belanda 6 orang Mati dan 42 luka-luka, kekalahan Habib di Bentengnya yang terkuat Seuneulop, membuat Habib ragu-ragu untuk dapat memperoleh kemenangan jika meneruskan perlawanan dengan menghadapi persenjataan Belanda yang amat kuat, karenanya ia mengadakan hubungan dengan pihak Belanda dan iapun berangkat ke Jeddah pada tranggal 23 November 1878 dengan mendapat tunjangan sebesar 12.000 ringgit saban Tahun dari pihak Belanda.

            Setelah Belanda mendirikan Benteng di Sigli berkali-kali mendapat serangan dari Tgk Chik di Tiro terhebat pada bulan April dan Mei 1878. Benteng Belanda di Pidie. Pada waktu itu di bawah komando kapten J.A Vetter ( 20 Tahun kemudian telah memperoleh pangkat letnan Jendral). Dalam penyerbuan  Tgk di Tiro 28/29 April 1878, Vetter kehilanghan letnannya Schutter dengan beberapa bawahannya.

            Akibat serangan terus menerus dari pasukan Tgk Chik di Tiro, mereka terpaksa bertahan dalam benteng, karenanya Belanda terpaksa meminta bantuan tambahan dan pada tanggal 7 Mei 1879 pasukan bantuan datang di bawah pimpinan mayor Coblijn. Belanda merencanakan akan menyerang ke kubu-kubu pertahanan Tgk Chik di Tiro dimana saja, di Pidie termasuk di Garot maka jendral Vander Heijden memutuskan bahwa dia sendiri akan tampil memimpin penyerangan di maksud.

            Pda tahun 1883 Twk Muhammad Daud Syah dianggap sudah dewasa untuk menjalankan tugas sebagai sulthan. Sulthan yang masih muda itu di akui setiap orang Aceh. Baginda di bantu oleh Tuanku Hasyim sebagai raja muda dan Tgk Chik di Tiro, yang turut menghadiri periustiwa itu sebagai kadhi.

            Setelah Twk Muhammad Daud di tabalkan menjadi sulthan, ia berseru kepada para Uleebalang agar meneruskan dan pengumpulan harta benda untuk perang sabil. Di samping itu di angkat pula untuk Wilayah Aceh Barat T.Umar sebagai Amirul Bahri atau panglima laut dan Tuanku Mahmud, Bangta kecil , adik Twk Hasyim Bangta muda sebagai wakil sulthan.

            Teungku Chik Di Tiro( Tgk Muhammad Saman) dengan pasukan-pasukannya yang bersenjata, baik yang di kerahkan oleh rakyat kampung, merupakan pasukan bersenjata yang dapat bergerak cepat dengan di bantu oleh pasukan pemimpin-pemimpin  dan Tgk Chik di Tiro tiba-tiba muncul di Mukim XXII lalu tampak pula di mukim XXVI. Dalam Agustus 1883 datanglah bantuan kurang lebih 500 orang dari pantai Utara dan pada bulan Juli 1884 pasukannya di perkuat lagi oleh 250 orang dari berbagai daerah dengan mengambil tempat di mukim XXVI. Penyerangan-penyerangan tewrus di lanjutkan sehingga Belanda terpaksa mengundurkan diri Dari mukim XXII dan sebagian dari mukim XXVI dan terpaksa bertahan di belakang lini pos-posnya yang kuat. Panglima perang Nyak Makam yang giat bergrilya di Aceh Timur langkat dan deli datang di Aceh Besar serta turut berperan dalam serangan-serangan terhadap belanda, antara lain menyusup ke pulau.

            Mengenai riwayat hidup Teungku Chik Di Tiro belum banyak yang dapat di ceritakan. Suatu sumber mengatakan bahwa ketika habib datang dari luar negeri dan mengadakan musyawarah di keumala dengan Sulthan Polim, Imam long Bata dan para terkemuka lainnya, kepada Teungku Chik di Tiro telah di beri kuasa untuk mengerahkan perang semesta di bagian Aceh Besar. Untuk keperluan ini beliau di angkat menjadi Wazir sulthan.

            Meningkatnya perlawanan terhadap Beelanda di Aceh Besar dalam Tahun1877 dan 1878, selain dilancarkan oleh Habib Abdurrahman dapat di pahami juga, di  lancarkan oleh Tgk Chik di Tiro yang tampil kedepan sebagai pemimpin  sabil di bagian Aceh Besar. Dengan berkecamuktyan perang di bagian Pidie juga di pimpin pula oleh Teungku Chik di Tiro, nyatalah bahwa Ulama Besar ini tidak hanya memimpin sabil di Aceh Tapi juga memimpin sabil di daerah Pidie.

            Penyair Doekarim mengisahkan Tentang Teungku di Tiro sebagai berikut: Masuk ke Aceh Besar dengan pengikutnya yang banyak para patriot Pidie beliau telah bertapa lebih dahulu ke lampaih, untuk beberapa bulan lamanya. Banyaklah penduduk berziarah ke tempat ini ,banyak pula yang berelajar . banyak pula Teungku Syeh Saman yang melahirkan Kader-kader pejuang yang selanjutnya tersebar ke tempat-tempat pejuang di Aceh.

           

            Lampaih itupun merupakan tempat Teungku Chik di Tiro menerima orang yang insaf kembali, mulai dari golongan uleebalang sampai orang hukuman pun ada juga di catat tentang datangnya orang-orang tionghowa dan selain itu datangnya dua orang perwira bawahan belanda yang di sersi (lari) , insaf sesudah memperhatikan kesucuian pejuang Teungku Di Tiro dan mengetahui keganasan bangsanya. Kedua orang Belanda itu menyebrang untuk membantu dengan sepenuh hati, pada Teungku Chik di Tiro pengetahuan mereka tinggi, ahli membuat senjata api dan obat bedil, cukup bermanfaat untuk perjuangan ketika diketahui buktinya.      

           

            Di ceritakan oleh Doekarim bahwa Tgk Chik Di Tiro giat memberi nasehat dan petunjuk betapa besar dosanya membiarkan orang kafir menguasai tanah air orang islam. Mereka yang insaf mendapat ampun tapi mereka yang tidsak insaf akan menerima bagiannya. Itulah pula sebabnya meraka yang menjadi mata-mata musuh tidak di beri kelonggaran sedikitpun, lebih-lebih pula terhadap pisau tajam dua belah . pada suatu ketika Uleebalang angkatan Belanda. Teungku Anak Paya  dari IV mukim telah di desak Belanda supaya menunjukkan tempat Tgk Chik di Tiro. Dengan Hati Berat Tgk Anak Paya menjalankan desakan ini, tapi sebelum berangkat telah di utusnya seorang suruhan untuk memberi lahu lebih dahulu kepada Tgk Syeh Saman di Tiro  bahwa tentara Belanda akan Datang pada waktu dan jam yang disebutkannya, ketika mana ia ajakan turut sebagai  penunjuk jalan. Tapi di mintanya supaya dia jangan di tembak terhadap pemberitahuan itu sadarlah Tgk  Chik Di Tiro bahwa Tgk Anak Paya tidak dapat di percaya. Pada suatu kesempatan yang baik , Tgk anak payapun mati terbunuh.. dengan ketegasan Tgk Chik Di Tiro itu tidak mengherankan  apa sebabnya penyelewengan Habib tidak berakibat kelemahan perjuangan. Melainkan sebaliknya  Tgk Chik Di Tiro semakin sadar bahwa keteguhan tekad menyempurnakan tegas di jalan Allah (fi sabilillah)adalah syarat pertama untuk mencapai kemenangan. Ketika Teuku Umar  berada di Aceh Besar, selalulah keduanya memusyawarahkan taktik strategi perjuangan dan dimana perlu mengkoordinasikan itulah sebabnya Belanda sangat terpukul sekali di masa itu.

            Pada bulan Oktober 1887 pasukan Tgk Chik di Tiro dengan kekuatan 400 orang memasuki Garis pertahanan Belanda antara meusapi dengan Raja bedil. Dalam pertempuran itu di pihak Aceh 41 orang tewas, sedangkan di pihak Belanda 4 orang mati dan 17 luka-luka. Adanya serangan seperti ini membuat Van Teijn mulai sedikit demi sedikit meninggalkan politik menunggu, baik sekitar garis pertahanan konsentrasi maupun di luar Aceh Besar ia menjalankan politik yang lebih Aktif, untuk membendung dan melawan pengaruh T. Umar dan Twk. Mahmud yang bertindak sebagai wakil Sulthan di Aceh Barat serta pengaruh Tgk Yusuf utusan Tgk Chik di Tiro ( Muhaammad Saman, pen) di daerah tersebut, bahagian-bahagian tertentu pantai Aceh di Tutup untuk Impor dan ekspor serta di larangan penangkapan ika juga di laksanakan sebagai hukuman terhadap oarang-orang Aceh yang membantu tokoh-tokoh tersebut di atas sepanjang kekuatan armada Belanda mengizinkannya.

            Pada bulan Juli 1889 Tgk. Chik Di Tiro ( Tgk Muhammad Saman,Pen) Penghantam kedudukan Belanda di dekat Kota Pohama, hanya beberapa kilometer dari Kuta Raja, dengan korban 22 orang mati dan 94 lorang luka-luka di pihak Belanda. Belanda mengadakan serangan balasan terhadap benteng Aceh di tempat ini dan akibatnya di pihak Aceh ada yang menyerah dan beberapa puluh orang mati syahid.

Pada bulan Januari 1891 Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman telah berpulang ke rahmatullah, yang kemudian di susul oleh T. Panglima Polem Muda Kuala.. Syaikh Muhammad Saman di gantikan oleh Anaknya bernama Tgk Muhammad Amin sebagai Tgk Chik di Tiro dan di akui oleh Sulthan Muhammad Daud. Tgk Panglima Polem Muda Kuala yang di gantikan oleh Putranya T.Raja Daud. Ia dio bantu oleh dua Panglimanya, abang iparnya T. Ali Basyah dari Geudong dan T. Ibrahim montasi. Raja daud bekerja sama dengan ulama-ulama yaitu Tgk Mayet Tiro ( putera no.2 dari Tgk. Muhammad Saman Tiro), Tgk Klibeut, Habib Lhong dan tgk Pante Glima mendirikan benteng-benteng untuk menghadapi serangan Belanda di Mukim XXII.

            Setelah meninggalnya Tgk Chik di Tiro, Mulai juli 1891 sampai dengan Februari 1892 Dr. Snouck Hurgronje mengadakan penyelidikan mengenai agama dan politik Aceh untuk mengetahui bagaimana sikap para ulama dengan meninggalnya Tgk chik Di Tiro Muhammad Saman dan bagaimana pengaruh mereka serta jalan manakah yang harus di tempuh oleh sulthan aceh dalam memenuhi kehendak para ulama. Sebagai hasil penelitiannya Snouck Hurgronje berkesimpulan bahwa pada umumnya yang di hadapi oleh belanda adalah sebuah gerakan rakyat fanatik yang di pimpin oleh ulama dan mereka ini hanya dapat di taklukkan bila mana Belanda mempergunakan kekuatan senjata dan kontak dengan mereka tidak boleh di adakan sebelum mereka menyerah.

            Inti sari pendapat yang di simpulkan oleh  Dr. Snouck Hurgonje mengenai penyelesaian Aceh ialah:

1.      Hentikan usaha mendekati sulthan dan orang-orang besarnya, sebab sulthan itu katanya , sebetulnya tidak berkuasa. Kalau dia dapat di ajak damai, tidaklah dengan sendirinya berarti yang lain-lain akan turut serta damai. Mengenai fungsi sultan, Snouck Hurgronje di dalam bukunya telah menunjuk surat yang pernah di sampaikan oleh ulama Tgk Chik di Tiro kepada Belanda ketika ulama Tiro menyatakan : “ herannya kenapa Belanda selalu saja Berusaha untuk mencari Hubungan dan Mendekati Sulthan. Menurut Chik Tiro kata Snouck, sulthan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa berunding dengan Tgk. Kali Malikul Adil, Tgk Ne’ , Panglima Mesjid raya dan Imam Longbata. Tapi pembesar yang 4 inipun tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka tergantung pada 3 Panglima Sagi tergantung pula pada ketujuh kaum, yaitu wakil rakyat. Sedangkan rakyat tidak akan berbuat apa-apa kalau tidak sesuai dengan pendapat-pendapat ulama. Selanjutnya ulama akan mengumumkan pendapatnya menurut Hukum Allah dan Rasul. Demikian Hierarchinya wewenang itu kata Tgk. Chik Di Tiro, menurut Dr. Snouck Hogronje”

2.      jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang Aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama. Sebab keyakinan merekalah yang menyuruh mereka melawan Belanda. Terhadap mereka haruslah pelor yang berbicara.

3.      Rebut lagi Aceh Besar.

4.      untuk mencapai simpati rakyat aceh giatkan pertanian, kerajinan dan dagang.

Selanjutnya di usulkan:

v  membentuk biro informasi buat staf2 sipil, yang keperluannya memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri Aceh.

v  Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh membikin korp pangreh praja senantiasa merasa diri kelas memerintah

Dari tahun 1898 sampai 1903 adalah babak pertempuran habis-habisan bagi Sulthan, polim, umar demikian juga bagi ulama Teungku Chik di tiro ( Tgk Mayet). Sejak 1 juli 1898 mulai berkecamuk perang habis-habisan di Pidie, hingga sebulan lamanya seorangpun belum ada Tokoh-tokoh penting di pihak Aceh yang tewas (syahid). Sebaliknya di pihak Belanda sudah banyak di timbulkan korban, sekalipun hanya dari pangkat kapten ke bawah.

            Pada penyerangan Belanda kedua di Tangse pada tahun 1898 telah di putuskan untuk membagi-bagi tugas dari para pahiawan Sulthan Panglima Polim, T. Umar dan Tgk. Chik di Tiro ( Tgk Mayet)yang dalam waktu sebelumnya sudah berada di sana, mengatur lagi siasat perang untuk menghadapi kenyataan-kenyataan yang ada.

            Pada bulan November 1902, Belanda menanggap istri Sulthan Pocut Putroe, di tahan di sabang dan kemudian pada tanggal 23 Desember 1902, isteri kedua Pocut  di Murong dan Putra Mahkota Twk. Ibrahim (14 tahun) di tangkap oleh Belanda. Belanda menetapkan bahwa isteri-isteri dan putra mahkota sulthan baru di lepaskan jika di tebus dengan dirinya sendiri.

            Pada masa inilah Sulthan kehilangan pedoman dalam kewajiban harus bergantung pada kepentingan perjuangan, karena mungkin ia dalam waktu yang sama sedang menyadari benar tanggung jawabnya yang harus di pikul terhadap keluarga yang sedang meringkuk dalam kesewenang-wenangan Belanda.

Sulthan menyerahgkan diri

            Akhirnya sulthan memilih untuk menebus keluarganya dengan dirinya. Ini berarti bahwa dia menghentikan perjuangan terbuka. Usaha yang masih dapat di lakyukannya sebelum menyerah ialah mengirimkan pesan kepada Panglima Polim dan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman telah meninggal dunia pada tahun 1891 Aneuk Galong aceh Besar, Kedudukannya digantikan oleh putranya tertua Tgk. Mat Amin, yang selanjutnya sebagai Tgk Chik Di Tiro – Tgk Mayet, Tgk Mayet mati syahid di Gunung Halimun tangse pada Tahun 1910  dan mayatnya di jemput oleh masyarakat pulo mesjid 1 Tangse – { tanah kuburan milik T. Itam tangse- Pen} bahwa menyerahkan perjuangan kepada mereka). Setelah itu lalu dengan surat bertanggal 6 januari 1903 dikirimlah khabar olehnya kabar kepada Gubernur Van Heutsz di Kuta raja bahwa dia bersedia menyerah.

            Dalam penyerahan diri tersebut Sulthan menghendaki syarat-syarat, di antaranya bahwa dia tidak hendak bertanggung jawab kepada Belanda jika perlawanan masih berlanjut. Sebagai seorang raja, dia berkehendak mendapat perlakuan menurut biasanya kebiasaan  internasional yang zalim. Di samping itu Sulthan membuat beberapa ketentuan tentang prosedur penyerahan diri. Dia meminta tokoh-tokoh berat dari Aceh yang sudah berpihak kepada Belanda yang harus datang menjemputnya di satu tempat. Perwira tertinggi Belanda di bagian itu harus menjemputnya di tempat yang di tentukan, untuk kemudian bersama-sama berangkat ketempat di mana dengan resmi penyerahan di langsungkan.

            Van Heustz menerima kabar permintaan menyerah itu dengan sangat gembira. Van Heustz menyambut bahwa dia bersedia memenuhi syarat yang diinginkan oleh Sulthan kecuali dalam hal-hal yang dia sendiri tidak berwenang memutuskannyadan dalam hal yang mutlak tidak mungkin.

            Hal yang dia sendiri katanya tidak dapat memutuskan, ialah bahwa hanya kepada Gubernur jenderal Belanda di Jakarta tenggelam wewenang untuk menentukan bagaimana sulthan akan di perlakukan dan kemana Sulthan akan ditempatkan. Hal yang mutlak bahwa sulthan harus menandatangani penyerahan dimana akan di terangkan bahwa dia mengakui takluk dan dia tidak boleh mengadakan perlawanan lagi.

            Sesuai dengan permintaan, Van Heustz mengirim tokoh-tokoh yang mengelukan, yang akan di antar secara Khusus oleh kapal sibolga dari uleleh ke Sigli mereka itu ialah (1). Twk. Mahmud, Paman Sulthan. (2). Twk. Ibrahim, anak Twk. Hasyim; (3). Twk Husin, bekas panglima Aceh; (4) 2 orang uleebalang terkemuka  yang sudah bekarja sama, yaitu panglima XXV dan XXVI mukim; (5) Tiga anggota keturunan Polim.

            Sultan di jemput oleh mereka ke Arusan (ie Leubeu) lalu di antar ke Asam Kumbnang. Di jaman ( Beureunuen) telah menunggu kereta api Ekstra yang akan membawa Sulthan secara kehormatan naik melewati Sigli menuju ke peukan Pidie beristirat di sini. Tanggal 10 Januari 1903, Sulthan danm rombongan berangkat menuju Sigli. Sesampai di Stasion Sigli , Sultan di Sambut oleh pihak militer Belanda yang di kepalai oleh Mayor Van er Maaten sendiri.

            Tanggal 13 Januari 1903 Sultan, isterinya Pocut Murong dengan Rombongan pengiring sejumlah 175 orang bertolakdari Sigli menuju ke Uleleh dengan sebuah kapal perang “sumbawa” dan “dag” di uleleh telah menunggu kereta api ekstra, dalam coupe istimewa dia berangkat menuju Stasion Kutaraja, dimana kereta juri kenaikan Gubernur Van Heustz.

            Tanggal 15 Januari 1903 Sultrhan diterima oleh Van Heutsz dan Tanggal 20 januari 1903 diadakanlah upacara penyerahan diri sulthan Di tempat Gubernur. Hadirlah para pembesar sipil/militer Belanda dan para undangan. Sulthan membuat pernyataan dalam bahasa indonesia yang kemudian di terjemahkan oleh juru bahasa J.H. Mobeek, bahwa: (1) dia menyerahkan diri kepada Gubernur, (2) bahwa kerajaan Aceh sebagian dari Hindia, Belanda. (3) bahwa dia senantiasa setia kepada Ratu Belanda dan kepada Wakilnya gubernur Jendral dan (4) dia rela menerima segala sesuatu keputusan yang di tentukan kepadanya bahkan juga menjalankan perintah kepadanya. Sultan Muhammad Daud naik tahta tahun 1296 Hijriah, semasa (+/- 1876 Masehi)

            Selesai pernyataan, Van Heutsz menyambut dengan beberapa patah kata bahwa: (1) menerima penyerahan diri itu, (2) bahwa dia belum dapat menentukan sesuatu tentang dirinya melainkan menunggu ketetapan gubernur Jendral, (3) bahwa dia menantikan dari Sulthan supaya mengirim surat kepada Uleebalang dan kepala-kepala menyuruh mereka menyerah dan menghentikan segala perlawanan, dan (4) bahwa untuk sementara Sulthan dapat tunjangan sebesar f 1000,- sebulan.

Panglima Polim Menyerah

            Pada tanggal 6 September 1903, panglima Polim dan iparnya Twk Raja Keumala ( anak Twk. Hasyim) bersama 150 prajurit lengkap dengan senjata datang melapur pada kapten Colijn, selaku civiel gezaghebber di Lhok Seumawe. Atas persetujuan gubernur Jendral Belanda di Jakarta, panglima Polim di angkat menjadi Kepala Sagi Di Sagi XXII mukim terhitung mulai tanggal 1 Januari 1904. dengan demikian posisi panglima polim telah berubah menjadi uleebalang yang bekerja sama.

Bersama Panglima Polim dan Twk. Raja keumala turut menyerah Teuku Tjih, Lothan dan Raja Meukuta Geudong, Teungku Jjit serta Ayahnya awal bulan November 1903 menyerah lagi Raja Hitam dari Buloh Beureugang dan Tgk. Raja Lhokseumawepun juga telah datang menyerah Teuku Muda Peudada di Lhokseumawe Sesudahnya beberapa sebelum itu (dalam Tahun 1903) letnan Belanda Chistoffel “berhasil” menculik isteri dan anak-anaknya. Teuku ubit Samalanga menyerah dalam bulan Desember 1903.


Maklumat Ulama seluruh Aceh

            Setelah Indonesia Merdeka pada Tanggal 15 oktober 1946, di keluarkanlah “ maklumat ulama seluruh Aceh”  yang merupakan suatu pernyataan pengakuan rakyat Aceh terhadap republik Indonesia dimana daerah Aceh dan Rakyat aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negara Republik Indonesia. Maklumat Ulama seluruh Aceh tersebut terdiri dari 7 poin, di antaranya :

      Perang dunia kedua yang maha dahsyad telah tamat. Sekarang di barat dan di Timur oleh 4 kerajaan yang besar sedang di atur oleh perdamaian dunia yang abadi untuk keselamatan makhluk Allah. Dan Indonesia tanah tumpah darah kita telah di maklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia dibawah pimpinan ir. SUKARNO.

      Seganap lapisan rakyat telah bersatu padu dengan patuh berdiri di belakang pemimpin ir. Sukarno untuk menunggu perintah dan kewajiban yang di jalankan.

      Menurut keyakinan kami perjuangan ini adalah sambuangan perjuangan dahulu di Aceh yang di pimpin oleh almarhum Tgk. Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.

      Dari sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu mengangkat langkah maju ke muka untuk  mengikuti jejak perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh kepada segala pemerintah pemimpin kita untuk keselamatan Tanah air agama dan Bangsa.

Maklumat ulama seluruh Aceh ini di tanda tangani oleh: (1) Tgk Haji Hasan Krueng Bale,(2) Tgk M.Daud beureueh (3) Tgk Haji Dja’far Sidik, (4) Tgk Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, kesemuanya mewakili ulama dan di ketahui oleh T. Nyak Arif selaku Residen Aceh serta di setujui oleh Tuanku Mahmud selaku Komite Nasional.

            Maklumat ulama inilah yang secara yuridis formal dapat di anggap sebagai bukti pernyataan sikap dari seluruh Rakyat aceh yang di wakili oleh para Ulama yang cukup representatif, kepala pemerintahan di Aceh yaitu Residen Aceh dan ketua komite Nasional (Lembaga Legislatif) pada waktu itu, “ bahwa Aceh adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia dan rakyat Aceh adalah bagian dari Bangsa Indonesia

Selasa, 27 November 2018

Islamisasi Jawa Menurut Tome Pires


Penjelajah Portugis ini memiliki versi sendiri soal Islamisasi di Jawa. Dia juga punya kesan buruk terhadap orang Jawa.

Risa Herdahita Putri

4 hari lalu, 17:11















 Isles de la Sonde (Kepulauan Sunda), peta yang dibuat Portugis abad 16. (Tome Pires, The Suma Oriental).


ADA beberapa teori yang dikembangkan para sejarawan soal Islamisasi di Nusantara. Penjelajah asal Portugis, Tome Pires, punya versinya sendiri. 


Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menjelaskan, petualangan Tome Pires dimulai pada masa di mana penjelajahan orang-orang Eropa berlangsung. 

“Sejak masa Colombus, abad ke-16 adalah abad discovery. Ada kompetisi arung samudra orang barat ke timur,” kata Sri Margana dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7 2018, di Hotel Grand Inna Maliboro, Yogyakarta, Kamis (22/2).

Baca juga: Mempertanyakan kembali teori Islamisasi di Nusantara

Penjelajahan bangsa Eropa didorong oleh keinginan menunjukkan kehebatan mengarungi samudra. Pun juga rasa haus akan pengetahuan dunia timur. 

“Hasil arung samudra paling utama adalah pengetahuan. Segala info tentang dunia timur menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya,” lanjutnya. 

Salah satunya Tome Pires yang menyajikan informasi lengkap tentang dunia timur. Dia mencatatnya dalam Suma Oriental. Yang paling menarik adalah pendapatnya soal hubungan komunitas Tionghoa dan Nusantara, khususnya dalam proses Islamisasi.

Baca juga: Islamisasi ala Cheng Ho

Ketika datang ke Jawa, Tome Pires mendapati bangsa asing: Arab, Persia, Gujarat, Bengal, dan Melayu. Para pendatang itu, kata Tome Pires, berhasil memperkaya diri dengan berdagang hingga mampu membangun masjid-masjid besar.

“Kata Pires, mereka sudah tinggal di Jawa selama 70 tahun. Ini dihitung dari waktu kunjungan Pires. Jadi sudah membawa pengaruh yang besar,” kata Sri Margana.

Menurut Tome Pires, jauh sebelum Islam datang, orang Jawa beragama pagan. Ketika bangsa Moor datang, mereka membangun benteng di sekeliling tempat tinggalnya. Mereka mengirim kaumnya untuk berdagang dengan jung, membunuh penguasa Jawa, dan mengangkat dirinya sebagai penguasa baru. 

“Dengan demikian mereka berhasil menjadikan diri sebagai penguasa dan mengambil alih kekuasaan dan perdagangan di Jawa,” tulis Tome Pires.

Jika itu benar, menurut Sri Margana, pernyataan Tome Pires meruntuhkan mitos tentang kehadiran Islam yang damai di tanah Jawa.

Penyebar Islam di Jawa

Catatan Pires juga seakan-akan mengklarifikasi tentang para penyebar Islam pertama di Jawa. Orang-orang Moor bukanlah satu-satunya penyebar Islam di Jawa, tapi juga Tionghoa.

Tome Pires menulis, para pate atau penguasa di Jawa, bukanlah orang Jawa asli yang berasal dari Jawa. Mereka melainkan Tionghoa, Keling, Persia dan berbagai negeri yang disebutkan sebelumnya. Namun, orang-orang ini sudah merasa lebih penting di kalangan bangsawan dan negeri Jawa secara kesuluruhan, bahkan melebihi orang yang tinggal di pedalaman. Itu karena mereka dibesarkan di tengah orang Jawa yang suka pamer, ditambah kekayaan yang mereka warisi dari para nenek moyang.

Baca juga: Islam Arab atau Islam Cina?

Pertanyaannya adalah, seberapa akurat informasi yang disebutkan Tome Pires? Dalam tulisannya, dia mengatakan sudah melakukan konfirmasi terhadap infomasi itu. 

“Pires bukan hanya mencatat yang dia lihat dan amati. Dia juga melakukan klarifikasi terhadap mitos dan kisah yang dia dengar,” kata Sri Margana.

Misalnya, soal hubungan Jawa dan Tiongkok. Menurut Tome Pires, raja Jawa dan Tiongkok tak pernah punya hubungan satu sama lain. Uang tunai Cina dibawa ke Jawa berkat perdagangan. Orang Jawa sudah melakukan perdagangan dengan komunitas Tionghoa jauh sebelum Malaka ada. 

“Kisah tentang Putri Cina menikahi orang Jawa itu jadi menurut dia (Pires, red.) bohong,” kata Sri Margana.

Baca juga: Adakah peran Cheng Ho dan Cina dalam Islamisasi Nusantara?

Menarik juga memperhatikan kesan Tome Pires terhadap orang Jawa. Katanya, soal kebaikan, harga diri, ketegasan, dan keberanian belum ditemukan di Jawa. Bahkan, keangkuhan orang Melayu, kata Pires, didapatkan dari perangai orang Jawa.

“Ini mengejutkan. Jawa selalu disebut baik, sopan, ternyata Tome Pire punya kesan sendiri,” kata Sri Margana. 

Dalam hal ini, subjektivitas muncul. Latar belakang sosial dan budaya yang dibawa Tome Pires mempengaruhi cara pandang dalam mencatat hal-hal yang dia temui dalam penjelajahannya, khususnya di Jawa. 

“Kalau mau pakai naskah ini sebagai sumber sejarah, harus kritis juga,” kata Sri Margana.


Sabtu, 02 Juli 2016

MENEMUKAN JEJAK MAKAM SULTAN TERAKHIR  KESULTANAN ACEH DARUSSALAM,  TUANKU ALAIDIN MUHAMMAD DAUD SYAH, JIHADIS AGUNG DARI SERAMBI MEKKAH, SALAH SATU TOKOH BESAR YANG BERPENGARUH TERHADAP PEJUANG-PEJUANG JAKARTA

Namanya beberapa kali disebut dalam beberapa arsip lama yang dimiliki oleh keluarga besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma (penulis kitab Al-Fatawi dan pejuang Jayakarta). Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan nama tersebut mengingat keterangan yang tertulis sangat singkat. Namun ketika saya mendapati beberapa artikel sejarah Aceh mengenai keberadaan sepak terjang Sultan ini, tiba-tiba saya jadi terpana dan kaget, seolah tidak percaya, karena ternyata sosok yang satu ini adalah tokoh besar dan legendaris bagi masyarakat Aceh. Selama ini dengan ketidak tahuan saya paling saya mengenal Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Laksamana Kumalahayati, Sultan Iskandar Muda, Fattahillah, dan beberapa lagi. Sedangkan nama Sultan Alaidin Muhammad  Daud Syah pernah saya dengar namun belum saya perdalam. Padahal kalau kita mau tahu, beliau ini justru pada masanya merupakan ujung tombak perlawanan Rakyat Aceh terhadap kezaliman Penjajah Belanda.

Perlawanannya yang heroik terhadap penjajah Belanda patut dikenang sebagai sebuah kisah yang menggetarkan. Dan perlu dicatat, pada masanya dan beberapa tahun sesudahnya, Aceh adalah satu-satunya wilayah Islam yang cukup sulit ditundukkan Penjajah Belanda karena militansi rakyat dan penguasanya dengan dasar jihad fisabillah terhadap Penjajah Kafir Harbi Belanda. Begitu bingungnya Penjajah Belanda dalam menghadapi Pejuang-pejuang Aceh, sampai-sampai mereka mengirimkan Snouck Horgronye untuk mencari tahu cara bagaimana menundukkan perlawanan bangsa Aceh tanpa harus merugikan kas keuangan Kerajaan Belanda. Dan memang harus diakui setelah “kerja keras” Snouck yang licik tersebut, satu persatu perlawanan rakyat Aceh mulai berkurang, apalagi Belanda selalu menggunakan politik ADU DOMBA dan juga melakukan pemisahan hubungan antara Rakyat, Bangsawan dan Ulama Aceh. Salah satu yang dilakukan adalah kepada Sultan Aceh, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini.

Dalam sejarahnya disebutkan secara singkat tentang Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini :

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, adalah raja terakhir Aceh, dari garis keturunan raja-raja Aceh sebelumnya. Sultan Muhammad Daud Syah dilahirkan pada tahun 1871, dua tahun sebelum Belanda menyerang Aceh pada  26 Maret 1873 M. Sejak berusia 7 tahun,  dia ditabalkan  sebagai Sultan Aceh  di Masjid Indrapuri pada hari Kamis, 26 Desember 1878 M, menggantikan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874)  yang meninggal pada 28 Januari 1874, pukul 12.00 siang hari. Menurut catatan sejarah, Sultan Mahmudsyah  wafat karena wabah kolera dan dimakamkan di Cot Bada Samahani, Aceh Besar. Wabah kolera ini dibawa oleh Belanda dan ini merupakan penggunaan senjata kimia pertama yang digunakan oleh penjajah dalam sejarah peradaban dunia.

Dia dilantik sebagai raja dalam usia. 11 tahun di Mesjid Tuha Indrapuri dalam situasi perang antara Aceh dan Belanda. Karena itu, mengingat usia Sultan Aceh yang masih terlalu belia, dan untuk menjaga stabilitas pemerintahan, sempat dibentuk lembaga Wali Nanggroe pada tanggal 25 Januari 1874, dan diangkat secara resmi Teungku Chik di Tiro sebagai Wali Nanggroe pada tanggal 28 Januari 1874. Pemburuan terhadap Sultan terus dilakukan oleh pihak Belanda, mengingat dia menjadi salah satu icon berkobarnya perang Aceh melawan Belanda.

Setelah pengangkatan Sultan Muhammad Daudsyah sebagai Sultan Aceh, pembesar-pembesar Aceh seperti Tuanku Hasyem Banta Muda,  Teuku Panglima Polem Muda Kuala, Teungku Syiek di Tanoh Abee terus  menyusun siasat baru untuk menyerang Belanda di Kuta Raja. Pada tahun 1880,  Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah bergabung dengan Sultan Muhammad Daudsyah dalam barisan pejuang dan diangkat sebagai menteri peperangan (amirul harb)  menentang Belanda. Peran Tgk Syik di Tiro Muhammad Saman dan keturunannya sangat besar dalam sejarah Aceh. Belanda sendiri kemudian menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teugku Maat Syiek di Tiro syahid di gunung Halimun (Ismail Yakob: 1943).

Pada tanggal 26 November 1902, Belanda menawan Teungku Putroe Gambar Gadeng binti Tuanku Abdul Madjid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, di Gampong Glumpang Payong, Pidie. Penyanderaan ini, dilakukan agar Sultan Aceh terakhir Muhammad Daud Syah, mau menyerahkan diri. Maka, pada tanggal 20 Januari 1903, Sultan Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Radha oleh penasihatnya (setelah melakukan musyawarah) menghadap Gubernur Aceh-Jenderal Van Heutz untuk menandatangani surat damai dengan Belanda.

Pada awalnya, Sultan dijadikan tahanan kota (di Kuta Radja) oleh Belanda, dengan ragam vasilitas disediakan. Penahanan tersebut diharapkan pula oleh Belanda, agar Sultan mau membantu kepentingan Belanda di Aceh. Namun, justru Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih untuk memberi sumbangan pada pejuang Aceh, dari gajinya yang diberikan oleh Belanda 1.200 florin setiap bulan (Ibrahim Alfian, 1999 ; 141). Sikap Sultan ini, menyebabkan ia dipindahkan dari Aceh ke Ambon dan selanjutnya ke Batavia, atas usulan Gubernur Militer Aceh, Letnan Jenderal Van Daalen hingga Sultan wafat di Batavia. Dalam catatan lain, disebutkan Sultan Daud (sebagai Sultan terakhir Aceh) dibuang dari Aceh, karena dia tetap mengharapkan bantuan asing, serta menulis surat kepada konsul Jepang di Singapura (Reid, 1969 ; 281).

Dia ditawan, lalu dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta).  Pada tahun 1907, Van Daalen mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar Sultan Aceh, Daud diasingkan. Karena itu, dengan ketetapan tanggal 24 Desember 1907, Pemerintah Hindia Belanda, membuang, mengisolasikan Sultan, beserta Tuanku Husin bersama empat orang putranya, sekaligus juga turut diisolasi Teuku Johan Lampaseh, Pejabat Panglima Sagoe Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abbas (KV dalam Alfian, 141). Tidak berhenti di situ, seterusnya Belanda juga turut serta mengasingkan beberapa ulama penggerak perjuangan, seperti Teungku Chik di Tanoh Abee, yang turut ikut serta secara konsisten terus melakukan perlawanan terhadap Belanda, sekaligus menjadi penasehat perang yang dipimpin oleh Teungku Chik di Tiro.

Di Batavia, Sultan Muhammad Daud Syah terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang untuk membantu Kerajaan Aceh guna melawan Belanda. Surat itu sekarang didokumentasikan dengan baik oleh cucunya, Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut: “Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap ke hadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun. Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini.”

Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon. Pada tahun 1918, sultan dipindahkan kembali ke Rawamangun, Jakarta,  sampai beliau menghembuskan nafas terakhir pada 6 Februari 1939. 

Adapun Urutan Penguasa Kesultanan Aceh Darussalam :

1.Sultan Alaidin Ali Mughayat Syahm 916 - 936 H (1511 – 1530 M)
2.Sultan Salahuddin 939 - 945 H (1530 – 1539 M)
3.Sultan Alaidin Riayat Syah II, terkenal dengan nama AL Qahhar 945 – 979 H (1539 – 1571 M)
4.Sultan Husain Alaidin Riayat Syah III, 979 – 987 H (1571 – 1579 M)
5.Sultan Muda bin Husain Syah, usia 7 bulan, menjadi raja selama 28 hari
6.Sultan Mughal Seri Alam Pariaman Syah, 987 H (1579 M) selama 20 hari
7.Sultan Zainal Abidin, 987 – 988 H (1579 – 1580 M)
8.Sultan Aialidin Mansyur Syah, 989 - 995H (1581 -1587 M)
9.Sultan Mugyat Bujang, 995 – 997 H (1587 – 1589 M)
10.Sultan Alaidin Riayat Syah IV, 997 – 1011 H (1589 – 1604 M)
11.Sultan Muda Ali Riayat Syah V 1011 – 1015 H (1604 – 1607 M)
12.Sultan Iskandar Muda Dharma Wangsa Perkasa Alam Syah 1016 – 1045H (1607 – 1636 M)
13.Sultan Mughayat Syah Iskandar Sani, 1045 – 1050 H (1636 – 1641 M)
14.Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, 1050 - 1086H (1641 – 1671 M)
15.Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (anak angkat Safiatuddin), 1086 – 1088 H (1675-1678 M)
16.Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (putri dari Naqiatuddin) 1088 – 1098 H (1678 – 1688 M)
17.Sultanah Rri Ratu Kemalat Syah (anak angkat Safiatuddin) 1098 – 1109 H (1688 – 1699 M)
18.Sultan Badrul Alam SYARIF HASYIM JAMALULLAIL 1110 – 1113 H (1699 – 1702 M)
19.Sultan Perkasa Alam SYARIF LAMTOI BIN SYARIF IBRAHIM. 1113 – 1115 H (1702 -1703 M)
20.Sultan Jamalul Alam Badrul Munir bin SYARIF HASYIM 1115 – 1139 H (1703 – 1726 M)
21.Sultan Jauharul Alam Imaduddin, 1139 H (1729 M)
22.Sultan Syamsul Alam Wandi Teubeueng
23.Sultan Alaidin Maharaja Lila Ahmad Syah 1139 – 1147 H (1727 – 1735H)
24.Sultan Alaidin Johan Syah 1147 – 1174 H (1735-1760 M)
25.Sultan Alaidin Mahmud Syah 1174 - 1195 H (1760 – 1781 M)
26.Sultan Alaidin Muhammad Syah 1195 - 1209 H (1781 – 1795 M)
27.Sultan Husain Alaidin Jauharul Alamsyah, 1209 - 1238 H (1795-1823 M)
28.Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah 1238 – 1251 H (1823 – 1836 M)
29.Sultan Sulaiman Ali Alaidin Iskandar Syah 1251 - 1286 H (1836 – 1870 M)
30.Sultan Alaidin Mahmud Syah 1286 – 1290 H (1870 – 1874 M)
31.Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, 1290 -…..H (1884 -1903 M)

(Di kutip dari buku “Tawarikh Raja- Raja Kerajaan Aceh”. oleh Tgk M Yunus Jamil).

“Perhatikan Sultan Nomor 18, tentu ini sangat menarik bagi mereka yang mendalami nasab dan peran serta Kaum Alawiyyin atau Kaum Sayyid di negeri ini, namun untuk pembahasan ini agaknya akan ada tulisan yang lain...”

Setelah saya membaca secara mendalam artikel yang dituis oleh Muhajir Al Fairusy, S.Hum, MA (Anggota Bidang Pelestarian Pustaka/Pembinaan  Khazanah Adat pada MAA Provinsi Aceh) dan juga M Adli Abdullah yang merupakan Pendiri Dayah Najmul Hidayah Al Aziziyah Meunasah Subung, Cot Meurak Samalanga dan Pemerhati Adat dan Sejarah Aceh,  serta beberapa lagi yang lainnya, langsung saja saya segera membuka arsip-arsip lama Keluarga besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang selama ini telah saya kumpulkan. Ketemulah kembali nama beliau ini dalam catatan cucu beliau yang bernama Gunawan Mertakusuma (Arsip Pribadi), pada tanggal 15 Maret 1980 halaman 19 yang juga mengutif dari isi kitab Al-Fatawi.

Beberapa bulan yang lalu, sebenarnya saya sudah beberapa kali membaca tulisan tentang keberadaan sosok tersebut, dan sempat pula penasaran, namun karena informasi keberadaan dan jejak langkahnya sangat sedikit, akhirnya nama beliau untuk sementara terlupakan karena saya sedang fokus pada penelitian yang lain.

Literaratur yang saya baca dari beberapa artikel tentang sejarah perjuangan dari Jihadis Tangguh yang ditulis oleh dua orang Sejarawan dan Budayawan Aceh itu selanjutnya saya bandingkan dengan catatan singkat dari KH Ahmad Syar’i, disitu saya menemukan sebuah kejutan yang luar biasa, karena ternyata Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah merupakan sosok yang berpengaruh dalam perjuangan jihad di Tanah Jakarta.

Perjuangannya ternyata tidak berhenti. Salah satu andil besar beliau pada saat di Batavia (nama yang digunakan Pemerintah Belanda) adalah, ketika secara diam-diam beliau ini menjadi pemimpin otak di balik perlawanan “KI DALANG” yang terjadi pada tahun 1924 di Tangerang. Jangan dianggap perlawanan “KI Dalang” hanya skup Tangerang saja, karena buktinya Pemerintah Belanda pasca peristiwa tersebut, memberikan hukuman mati para tokoh-tokohnya, termasuk KH Ahmad Syar’i. Sekalipun Sultan Muhammad Daud Syah ini tidak terlibat di lapangan langsung karena berada dalam pengasingan dan pengawasan ketat Pemerintah Belanda di Jakarta, tapi kepiawaiannya dalam berkomunikasi tetap sulit untuk dideteksi. Pada waktu itu wilayah Tangerang belum terpecah dengan wilayah Jayakarta (Jakarta). Perlawanan “KI DALANG” yang salah satu motornya adalah KH Ahmad Syar’i mendapatkan spirit dan dukungan dari Sultan yang bersahaja ini. Dan jangan lupa dalam biografi KH Ahmad Syar’i tertulis kalau dia pernah belajar Ilmu Politik kepada beberapa tokoh di Rawa Mangun, ya sudah tentu termasuk kepada Sultan Muhammad Daud Syah ini. Dan KH Ahmad Syar’i sendiri adalah anggota Pitung dalam Bidang Strategi yang menggantikan kedudukan Dji’ih pasca syahidnya beliau. Sekalipun Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah berada dalam pengasingan di Batavia, tetapi dia mampu menjalin jaringan dengan pejuang-pejuang Jakarta.  Selain perlawanan “Ki Dalang” saya yakin beliau juga mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh besar politik lain seperti MH Thamrin, Yamin, dll, apalagi Jakarta saat itu merupakan pusat pemerintahan Belanda dan pusat kegiatan politik besar. Keterangan ini juga diperkuat dengan adanya hubungan yang akrab antara salah satu putra beliau dengan Bung Karno. Sayangnya kemudian keberadaan putra beliau terlupakan oleh Bung Karno pasca Bung Karno menjadi Presiden RI.

Hubungan antara KH Ahmad Syar’i Mertakusuma dan Sultan Muhammad Daud Syah  ini juga telah menjawab rasa penasaran saya, kenapa KH Ahmad Syar’i melakukan pelarian dari kejaran Pemerintah Belanda ke wilayah Aceh. Apalagi beliau bisa berhasil masuk ke dalam dalam kondisi peperangan, jelas ini adalah sebuah langkah yang cukup berani. Di Aceh bahkan KH Ahmad Syar’i belajar tentang Strategi Perang dan Nilai-nilai Perjuangan Rakyat Aceh, sekaligus beliau juga belajar Sejarah Aceh dan juga belajar agama dari beberapa tokoh disana. Ini tentu tidak lepas dari andil dari Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah mengingat beliau adalah orang yang cukup berpengaruh di tanah Aceh. Yang juga semakin menguatkan hubungan mereka adalah, bahwa dalam catatan lama keluarga besar KH Ahmad Syar’i, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini tertulis menetap di dalam pengasingannya di wilayah TANAH TINGGI KAYU PUTIH (sekarang sudah hilang dan menjadi wilayah Pulo Mas). KAYU PUTIH TANAH TINGGI seperti yang pernah saya tulis sebelumnya adalah salah satu “Markas Besar” para pejuang Jayakarta. Disitu banyak dimakamkan para Syuhada (makam-makamnya sudah dipindah ke Kayu Putih Utara Masjid Al-Ghoni Jakarta Timur). Di wilayah Kayu Putih Tanah Tinggi juga terdapat seorang ulama Karismatik yang bernama Datuk Kidam dan juga cucunya yang juga tidak kalah karismatiknya yaitu Syekh Abdul Ghoni (Waliyullah Dan salah satu guru Habib Ali Kwitang).

Keterangan ini juga sekaligus menambahkan data bahwa wilayah lokasi pengasingan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah Kayu Putih Tanah Tinggi, karena dalam beberapa catatan sejarah, Sultan Muhammad Daud Syah diasingkan di daerah Pisangan Lama. Secara geografis saya lebih cenderung setuju Sultan Muhammad Daud Syah berada di Kayu Putih Tanah Tinggi apalagi jarak Rawamangun dan Kayu Putih Tanah Tinggi (Pulo Mas) itu sangat dekat, mengingat pula Syekh Abdul Ghoni  adalah ulama yang dikenal mempunyai banyak jaringan yang luas termasuk dengan ulama-ulama Aceh.

Berdasarkan keterangan artikel singkat diatas ditambah keterangan dari Keluarga Besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma,  maka akhirnya saya putuskan untuk mencari keberadaan makam beliau. Rasanya cukup aneh dan janggal kalau Orang sebesar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah tidak diketahui keberadaan makamnya oleh masyarakat Umum apalagi mereka yang mencintai Sejarah lebih khusus lagi warga Jakarta dan Sekitarnya. Dengan menemukan keberadaan makam beliau maka akan semakin memperjelaskan bagaimana posisi dan kedudukan beliau sebagai Sultan Terakhir Aceh dan bagaimana pula hubungannya dengan Jakarta.

Ada sebuah kisah lucu dan unik dalam pencarian makam ini.

Yang saya peroleh dari keterangan tertulis dari Keluarga Besar KH Ahmad Syar’i, bahwa Sultan Muhammad Daud Syah dimakamkan di Pemakaman Utan Kayu Jakarta  Timur. Lha setahu saya daerah Utan Kayu tidak ada pemakaman,  lha wong itu sangat dekat kok dengan rumah saya, itulah  yang menyebabkan saya tempo hari merasa pesimis bisa menemukan makam tersebut. Kemudian saya mencoba browsing internet, ternyata ketemu ! Tapi  tetap saja masih ada ganjalan, karena nama tempat pemakamannya berbeda-beda, ada yang menyebutnya PEMAKAMAN KEMIRI, ada yang menyebutnya PEMAKAMAN UTAN KAYU. Yang membuat saya semakin penasaran, posisi makam ini disebut berada di samping UNJ Rawamangun ! Lho bukannya itu adalah tempat dimakamkan AYAH SAYA ! Tapi setahu saya TPU itu namanya SUNAN GIRI deh dan anehnya rasa-rasanya saya tidak pernah mendengar ada nama tokoh besar Aceh yang dimakamkan disini. Tapi dari dari situ saya kemudian mencoba untuk mengingat-ngingat kembali, adakah makam orang-orang Aceh di pemakaman dekat makam ayah saya ini ? Dan ternyata seingat saya memang ada tiga dan inipun posisinya tidak jauh dari Pos Petugas Pemakaman yang berada dekat di jalan raya, tapi berdasarkan ingatan saya, itu bukanlah makam Sultan Muhammad Daud Syah. Ah daripada pusing, lebih baik saya langsung ke TKP.

Hari Kamis pagi tanggal 30 Juni 2016, saya akhirnya secara singkat mendatangi komplek pemakaman yang juga ada makam ayah saya d Rawamangun itu (hari itu saya cuma bertanya saja). Sambil berdebar-debar saya bertanya kepada beberapa orang yang jual kembang makam di pinggir jalan raya Rawa Mangun Jakarta Timur. Begitu saya bertanya dimana lokasi letak makam “KEMIRI” dijawab mereka, “Lha ini dia pak PEMAKAMAN KEMIRI.....”. Sontak saya kaget dan menjawab, “Lha, ini bukan pemakaman SUNAN GIRI Pak ?” mereka menjawab, “Ya Iya pak, ini juga disebut TPU SUNAN GIRI...”, terus saya bertanya lagi, “Lha kalau TPU UTAN KAYU, yang mana Pak ?”, mereka jawab...”Lha ini juga TPU UTAN KAYU Pak” dan pas saya lihat Plang nama TPU ini ternyata tertulis jelas “TPU UTAN KAYU”. Menurut mereka terkadang Komplek TPU ini sering disebut KEMIRI, karena dulunya disini banyak pohon Kemiri, dan kadang sering disebut UTAN KAYU, karena secara administratif memang masih menjadi bagian wilayah Utan Kayu Jakarta Timur.
Berdasarkan informasi yang saya peroleh, Rawamangun ini ternyata dahulunya juga masuk wilayah Utan Kayu (bahkan plang penunjuk jalan di sekitar kampus UNJ bertuliskan UTAN KAYU RAWAMANGUN. Eh Ladalah........jadi makam Sultan Muhammad Daud Syah itu dekat dengan makam Ayah Saya toh ! Ya Salam.......Jakarta sempit amat nih, fikir saya....Sudah hampir 6 tahun ayah saya dimakamkan di komplek ini, baru tahu kalau ada makam Pejuang Besar plus juga para pengikutnya, dan lebih aneh lagi saya baru tahu kalau komplek pemakaman ini nama aslinya adalah TPU UTAN KAYU, hehehe “kurang piknik” kalau kata istilah teman saya. Yang juga dulu sempat membuat saya tanda tanya, sebelum meninggal Al-Marhum Ayah saya (Allah Yarham..) ingin sekali dimakamkan di Komplek ini, dia beralasan, Pemakaman Sunan Giri ini Nyaman dan Damai buat dirinya, dan beliau ingin dimakamkan yang dekat dengan Musholah. Pantas saja beliau ingin disini karena memang suasana pemakaman disini sangat terasa “damainya” dan memang setahu saya selain Sultan Muhammad Daud Syah, ada beberapa makam Ulama Tempo Dulu Betawi lagi yang mastur dan sering diziarahi banyak orang, beliau bernama KH Muhammad Sholeh (Mbah Sholeh ?) dan di dekat makam Sultan juga saya lihat ada makam seorang kyai yang berusia 99 tahun. 

Hari Jumat pukul 14.45 siang tanggal 1 Juli 2016, saya bersama istri akhirnya memutuskan datang ke pemakaman Sunan Giri atau TPU* Utan Kayu atau TPU Kemiri ini. Sebelumnya sudah tentu saya terlebih dahulu berziarah ke makam ayah saya, setelah berziarah, saya langsung bertanya kepada penjaga yang biasa mengurus makam ayah saya yang sudah cukup akrab bernama Bapak Nimin (Pak Kopral). Pak Kopral kemudian menunjukkan dengan gamblang posisi makam Sultan Muhammad Daud Syah. Beliau juga mengatakan, kalau makam tersebut tergolong tua, dan disekitarnya banyak makam orang-orang Aceh termasuk pengikut Sultan Muhammad Daud Syah.

Dari makam ayah saya, kemudian saya dan istri meluncur kearah belakang komplek pemakaman. Saya menuju makam Sultan Muhammad Daud Syah dengan mengambil patokan Pompa Dragon (pompa tangan) warna hijau. Jarak makam beliau ini lumayanlah jarak tempuhnya jika dimulai dari pintu gerbang masuk. Kurang lebih sekitar 300 meter.  Setelah menemukan pompa dragon warna hijau itu, saya berhenti di pinggir jalan dan melihat posisi di sebelah kanan. Saya berhenti dan melihat beberapa makam, dan akhirnya bertemulah saya dengan makam SULTAN TERAKHIR DARI KESULTANAN ACEH DARUSSALAM INI !

Makamnya termasuk yang berbeda, karena cukup besar, namun tetap bersahaja. Saya cukup terharu menemukan makam ini. Seorang Sultan Besar yang telah mengorbankan jiwa dan raganya, makamnya begitu sangat sederhana dan tidak menunjukkan kelasnya sebagai seorang Sultan Besar yang pernah membuat nyali penjajah bergetar. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi makam tersebut 77 tahun yang lalu (beliau wafat tahun 1939 M). Tentu keberadaannya sangat sunyi dan berada tempat yang sangat jarang diketahui apalagi dikunjungi masyarakat, apalagi pada masa itu wilayah Rawamangun banyak kebun-kebun yang lebat dan sawah-sawah masyarakat Betawi, kalau orang Betawi bilang tempat ini termasuk “Tempat Jin Buang Anak” karena begitu sepinya. Sudah tentu jumlah makam yang ada pada waktu itu tidak terlalu banyak seperti yang sekarang ini. Belanda sepertinya ingin menghilangkan jejak kebesaran Sultan Terakhir Aceh ini dengan “menyembunyikan” posisi makam beliau ini. Sepertinya mereka khawatir jika makam jihadis tangguh ini akan banyak diziarahi orang. Terbukti jika melihat posisi makam, sangat jauh sekali dari jalan raya dan pemukiman, ini kondisi sekarang, apalagi pada masa lalu, yang wilayahnya masih banyak terdapat kebun-kebun yang rapat dan lebat. Sedangkan pusat-pusat kegiatan kota Batavia lebih banyak berada di wilayah Lapangan Banteng, Tanah Abang, Senen, Harmoni, dll. Sampai tahun 1955 saja menurut ayah saya wilayah Pulo Mas apalagi Rawa Mangun itu masih lebat kebun-kebunnya, jalannya juga jarang dilewati kendaraan karena masih sebagian belum beraspal, paling yang sering dilewati wilayah-wilayah Jakarta Pusat.

Setelah berhadapan dengan makam ini, saya kemudian berdoa untuk arwah beliau dan juga pengikutnya yang berada disamping kiri dan kanan. Dan Alhamdulillah, selama saya berziarah tidak ada orang-orang yang dalam beberapa tulisan datang untuk ini, untuk itulah....mereka para petugas makam, hanya melihat biasa saja ketika saya dan istri ziarah. Sekalipun orang-orang tersebut datang untuk “pura-pura” membersihkan makam, bagi saya itu biasa saja..toh memang rezeki mereka banyak terdapat disitu.

Ada nuansa aneh dalam ziarah ke makam beliau ini. Dari rumah saya ngotot sekali untuk memakai kopiah corak hijau dan juga memakai sorban. Padahal sebelumnya kalau saya ziarah, biasa-biasa saja, tapi untuk kali ini ada rasa keinginan besar memakai kopiah dan sorban (padahal saya bukan Ustadz..). Entahlah, saya merasa berpakaian seperti itu karena ingin “menghormati” jasa beliau sebagai pahlawan besar. Simbolisasi ini saya “berikan” karena beliau adalah seorang Sultan Besar dan Pejuang Agama Allah yang luar biasa.

Demi perjuangan jihad fisabilllah Sultan Muhammad Daud Syah ini telah rela mengorbankan hartanya, dia rela keluar masuk hutan demi kebenaran, dia rela meninggalkan tanah airnya, dia rela terisolasi dari rakyatnya. Dia benar-benar keluar dari “zona aman” dalam hidupnya. Tidak banyak Sultan yang bisa bersikap seperti ini. Dia bisa saja menjadi Sultan yang dilantik dan dibawah kendali Belanda, namun itu tidak dia lakukan, karena baginya itu sama saja menjadi “Budak Penjajah”. Dia lebih memilih menderita bersama rakyatnya.

Sekalipun harta keluarga besar Kesultanannya dirampas Penjajah Belanda dan dia kemudian jatuh miskin, tapi penjajah rupanya lupa, Sultan Ini tidak pernah bisa terbeli hatinya sampai kapanpun. Sekalipun dia jatuh miskin, sekalipun ada fihak yang menghianatinya, perlawanannya itu tidak pernah berhenti. Terbukti dia mampu memberikan pengaruh terhadap pejuang-pejuang Jayakarta termasuk memberikan pengaruh kepada Kepada KH Ahmad Syar’i Mertakusuma. Artinya Sultan Muhammad Daud Syah adalah salah satu Guru dan Motivator KH Ahmad Syar’i. Ciri khas keduanya sama, sama-sama tidak pernah mau tunduk terhadap penjajahan, sama-sama ditekan penguasa, sama-sama berhadapan dengan “oknum” penjilat penjajah, sama-sama cinta terhadap jihad fisabillah, sama-sama harus hijrah ke negeri lain, dan sama-sama meninggal dalam kesunyian di negeri orang.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, adalah Jihadis Agung Bangsa Ini, dia tidak hanya milik orang Aceh, dia juga milik orang Jakarta, dia juga milik kita semua. Demi perjuangan dia mungkin bisa saja “hilang” dalam “catatan” sejarah perjuangan bangsa ini, tapi bagi kita yang cinta terhadap perjuangan beliau untuk memperoleh keadilan dan kebenaran, maka sosok beliau ini bisa kita kenang dan patut kita contoh dalam kehidupan sekarang, Kegigihannya dalam mempertahankan prinsip, keuletannya dalam mempertahankan Aqidah adalah sebuah prinsip hidup yang cukup mengagumkan...

Semoga Pejuang Sejati Allah ini ditempatkan ke dalam tempat yang terbaik kelak di akhirat sana....Amin...

Al-Faatehah untuk Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah.....

Bersama As-Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan...