Sabtu, 02 Juli 2016

MENEMUKAN JEJAK MAKAM SULTAN TERAKHIR  KESULTANAN ACEH DARUSSALAM,  TUANKU ALAIDIN MUHAMMAD DAUD SYAH, JIHADIS AGUNG DARI SERAMBI MEKKAH, SALAH SATU TOKOH BESAR YANG BERPENGARUH TERHADAP PEJUANG-PEJUANG JAKARTA

Namanya beberapa kali disebut dalam beberapa arsip lama yang dimiliki oleh keluarga besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma (penulis kitab Al-Fatawi dan pejuang Jayakarta). Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan nama tersebut mengingat keterangan yang tertulis sangat singkat. Namun ketika saya mendapati beberapa artikel sejarah Aceh mengenai keberadaan sepak terjang Sultan ini, tiba-tiba saya jadi terpana dan kaget, seolah tidak percaya, karena ternyata sosok yang satu ini adalah tokoh besar dan legendaris bagi masyarakat Aceh. Selama ini dengan ketidak tahuan saya paling saya mengenal Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Laksamana Kumalahayati, Sultan Iskandar Muda, Fattahillah, dan beberapa lagi. Sedangkan nama Sultan Alaidin Muhammad  Daud Syah pernah saya dengar namun belum saya perdalam. Padahal kalau kita mau tahu, beliau ini justru pada masanya merupakan ujung tombak perlawanan Rakyat Aceh terhadap kezaliman Penjajah Belanda.

Perlawanannya yang heroik terhadap penjajah Belanda patut dikenang sebagai sebuah kisah yang menggetarkan. Dan perlu dicatat, pada masanya dan beberapa tahun sesudahnya, Aceh adalah satu-satunya wilayah Islam yang cukup sulit ditundukkan Penjajah Belanda karena militansi rakyat dan penguasanya dengan dasar jihad fisabillah terhadap Penjajah Kafir Harbi Belanda. Begitu bingungnya Penjajah Belanda dalam menghadapi Pejuang-pejuang Aceh, sampai-sampai mereka mengirimkan Snouck Horgronye untuk mencari tahu cara bagaimana menundukkan perlawanan bangsa Aceh tanpa harus merugikan kas keuangan Kerajaan Belanda. Dan memang harus diakui setelah “kerja keras” Snouck yang licik tersebut, satu persatu perlawanan rakyat Aceh mulai berkurang, apalagi Belanda selalu menggunakan politik ADU DOMBA dan juga melakukan pemisahan hubungan antara Rakyat, Bangsawan dan Ulama Aceh. Salah satu yang dilakukan adalah kepada Sultan Aceh, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini.

Dalam sejarahnya disebutkan secara singkat tentang Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini :

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, adalah raja terakhir Aceh, dari garis keturunan raja-raja Aceh sebelumnya. Sultan Muhammad Daud Syah dilahirkan pada tahun 1871, dua tahun sebelum Belanda menyerang Aceh pada  26 Maret 1873 M. Sejak berusia 7 tahun,  dia ditabalkan  sebagai Sultan Aceh  di Masjid Indrapuri pada hari Kamis, 26 Desember 1878 M, menggantikan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874)  yang meninggal pada 28 Januari 1874, pukul 12.00 siang hari. Menurut catatan sejarah, Sultan Mahmudsyah  wafat karena wabah kolera dan dimakamkan di Cot Bada Samahani, Aceh Besar. Wabah kolera ini dibawa oleh Belanda dan ini merupakan penggunaan senjata kimia pertama yang digunakan oleh penjajah dalam sejarah peradaban dunia.

Dia dilantik sebagai raja dalam usia. 11 tahun di Mesjid Tuha Indrapuri dalam situasi perang antara Aceh dan Belanda. Karena itu, mengingat usia Sultan Aceh yang masih terlalu belia, dan untuk menjaga stabilitas pemerintahan, sempat dibentuk lembaga Wali Nanggroe pada tanggal 25 Januari 1874, dan diangkat secara resmi Teungku Chik di Tiro sebagai Wali Nanggroe pada tanggal 28 Januari 1874. Pemburuan terhadap Sultan terus dilakukan oleh pihak Belanda, mengingat dia menjadi salah satu icon berkobarnya perang Aceh melawan Belanda.

Setelah pengangkatan Sultan Muhammad Daudsyah sebagai Sultan Aceh, pembesar-pembesar Aceh seperti Tuanku Hasyem Banta Muda,  Teuku Panglima Polem Muda Kuala, Teungku Syiek di Tanoh Abee terus  menyusun siasat baru untuk menyerang Belanda di Kuta Raja. Pada tahun 1880,  Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah bergabung dengan Sultan Muhammad Daudsyah dalam barisan pejuang dan diangkat sebagai menteri peperangan (amirul harb)  menentang Belanda. Peran Tgk Syik di Tiro Muhammad Saman dan keturunannya sangat besar dalam sejarah Aceh. Belanda sendiri kemudian menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teugku Maat Syiek di Tiro syahid di gunung Halimun (Ismail Yakob: 1943).

Pada tanggal 26 November 1902, Belanda menawan Teungku Putroe Gambar Gadeng binti Tuanku Abdul Madjid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, di Gampong Glumpang Payong, Pidie. Penyanderaan ini, dilakukan agar Sultan Aceh terakhir Muhammad Daud Syah, mau menyerahkan diri. Maka, pada tanggal 20 Januari 1903, Sultan Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Radha oleh penasihatnya (setelah melakukan musyawarah) menghadap Gubernur Aceh-Jenderal Van Heutz untuk menandatangani surat damai dengan Belanda.

Pada awalnya, Sultan dijadikan tahanan kota (di Kuta Radja) oleh Belanda, dengan ragam vasilitas disediakan. Penahanan tersebut diharapkan pula oleh Belanda, agar Sultan mau membantu kepentingan Belanda di Aceh. Namun, justru Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih untuk memberi sumbangan pada pejuang Aceh, dari gajinya yang diberikan oleh Belanda 1.200 florin setiap bulan (Ibrahim Alfian, 1999 ; 141). Sikap Sultan ini, menyebabkan ia dipindahkan dari Aceh ke Ambon dan selanjutnya ke Batavia, atas usulan Gubernur Militer Aceh, Letnan Jenderal Van Daalen hingga Sultan wafat di Batavia. Dalam catatan lain, disebutkan Sultan Daud (sebagai Sultan terakhir Aceh) dibuang dari Aceh, karena dia tetap mengharapkan bantuan asing, serta menulis surat kepada konsul Jepang di Singapura (Reid, 1969 ; 281).

Dia ditawan, lalu dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta).  Pada tahun 1907, Van Daalen mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar Sultan Aceh, Daud diasingkan. Karena itu, dengan ketetapan tanggal 24 Desember 1907, Pemerintah Hindia Belanda, membuang, mengisolasikan Sultan, beserta Tuanku Husin bersama empat orang putranya, sekaligus juga turut diisolasi Teuku Johan Lampaseh, Pejabat Panglima Sagoe Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abbas (KV dalam Alfian, 141). Tidak berhenti di situ, seterusnya Belanda juga turut serta mengasingkan beberapa ulama penggerak perjuangan, seperti Teungku Chik di Tanoh Abee, yang turut ikut serta secara konsisten terus melakukan perlawanan terhadap Belanda, sekaligus menjadi penasehat perang yang dipimpin oleh Teungku Chik di Tiro.

Di Batavia, Sultan Muhammad Daud Syah terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang untuk membantu Kerajaan Aceh guna melawan Belanda. Surat itu sekarang didokumentasikan dengan baik oleh cucunya, Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut: “Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap ke hadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun. Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini.”

Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon. Pada tahun 1918, sultan dipindahkan kembali ke Rawamangun, Jakarta,  sampai beliau menghembuskan nafas terakhir pada 6 Februari 1939. 

Adapun Urutan Penguasa Kesultanan Aceh Darussalam :

1.Sultan Alaidin Ali Mughayat Syahm 916 - 936 H (1511 – 1530 M)
2.Sultan Salahuddin 939 - 945 H (1530 – 1539 M)
3.Sultan Alaidin Riayat Syah II, terkenal dengan nama AL Qahhar 945 – 979 H (1539 – 1571 M)
4.Sultan Husain Alaidin Riayat Syah III, 979 – 987 H (1571 – 1579 M)
5.Sultan Muda bin Husain Syah, usia 7 bulan, menjadi raja selama 28 hari
6.Sultan Mughal Seri Alam Pariaman Syah, 987 H (1579 M) selama 20 hari
7.Sultan Zainal Abidin, 987 – 988 H (1579 – 1580 M)
8.Sultan Aialidin Mansyur Syah, 989 - 995H (1581 -1587 M)
9.Sultan Mugyat Bujang, 995 – 997 H (1587 – 1589 M)
10.Sultan Alaidin Riayat Syah IV, 997 – 1011 H (1589 – 1604 M)
11.Sultan Muda Ali Riayat Syah V 1011 – 1015 H (1604 – 1607 M)
12.Sultan Iskandar Muda Dharma Wangsa Perkasa Alam Syah 1016 – 1045H (1607 – 1636 M)
13.Sultan Mughayat Syah Iskandar Sani, 1045 – 1050 H (1636 – 1641 M)
14.Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, 1050 - 1086H (1641 – 1671 M)
15.Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (anak angkat Safiatuddin), 1086 – 1088 H (1675-1678 M)
16.Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (putri dari Naqiatuddin) 1088 – 1098 H (1678 – 1688 M)
17.Sultanah Rri Ratu Kemalat Syah (anak angkat Safiatuddin) 1098 – 1109 H (1688 – 1699 M)
18.Sultan Badrul Alam SYARIF HASYIM JAMALULLAIL 1110 – 1113 H (1699 – 1702 M)
19.Sultan Perkasa Alam SYARIF LAMTOI BIN SYARIF IBRAHIM. 1113 – 1115 H (1702 -1703 M)
20.Sultan Jamalul Alam Badrul Munir bin SYARIF HASYIM 1115 – 1139 H (1703 – 1726 M)
21.Sultan Jauharul Alam Imaduddin, 1139 H (1729 M)
22.Sultan Syamsul Alam Wandi Teubeueng
23.Sultan Alaidin Maharaja Lila Ahmad Syah 1139 – 1147 H (1727 – 1735H)
24.Sultan Alaidin Johan Syah 1147 – 1174 H (1735-1760 M)
25.Sultan Alaidin Mahmud Syah 1174 - 1195 H (1760 – 1781 M)
26.Sultan Alaidin Muhammad Syah 1195 - 1209 H (1781 – 1795 M)
27.Sultan Husain Alaidin Jauharul Alamsyah, 1209 - 1238 H (1795-1823 M)
28.Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah 1238 – 1251 H (1823 – 1836 M)
29.Sultan Sulaiman Ali Alaidin Iskandar Syah 1251 - 1286 H (1836 – 1870 M)
30.Sultan Alaidin Mahmud Syah 1286 – 1290 H (1870 – 1874 M)
31.Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, 1290 -…..H (1884 -1903 M)

(Di kutip dari buku “Tawarikh Raja- Raja Kerajaan Aceh”. oleh Tgk M Yunus Jamil).

“Perhatikan Sultan Nomor 18, tentu ini sangat menarik bagi mereka yang mendalami nasab dan peran serta Kaum Alawiyyin atau Kaum Sayyid di negeri ini, namun untuk pembahasan ini agaknya akan ada tulisan yang lain...”

Setelah saya membaca secara mendalam artikel yang dituis oleh Muhajir Al Fairusy, S.Hum, MA (Anggota Bidang Pelestarian Pustaka/Pembinaan  Khazanah Adat pada MAA Provinsi Aceh) dan juga M Adli Abdullah yang merupakan Pendiri Dayah Najmul Hidayah Al Aziziyah Meunasah Subung, Cot Meurak Samalanga dan Pemerhati Adat dan Sejarah Aceh,  serta beberapa lagi yang lainnya, langsung saja saya segera membuka arsip-arsip lama Keluarga besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang selama ini telah saya kumpulkan. Ketemulah kembali nama beliau ini dalam catatan cucu beliau yang bernama Gunawan Mertakusuma (Arsip Pribadi), pada tanggal 15 Maret 1980 halaman 19 yang juga mengutif dari isi kitab Al-Fatawi.

Beberapa bulan yang lalu, sebenarnya saya sudah beberapa kali membaca tulisan tentang keberadaan sosok tersebut, dan sempat pula penasaran, namun karena informasi keberadaan dan jejak langkahnya sangat sedikit, akhirnya nama beliau untuk sementara terlupakan karena saya sedang fokus pada penelitian yang lain.

Literaratur yang saya baca dari beberapa artikel tentang sejarah perjuangan dari Jihadis Tangguh yang ditulis oleh dua orang Sejarawan dan Budayawan Aceh itu selanjutnya saya bandingkan dengan catatan singkat dari KH Ahmad Syar’i, disitu saya menemukan sebuah kejutan yang luar biasa, karena ternyata Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah merupakan sosok yang berpengaruh dalam perjuangan jihad di Tanah Jakarta.

Perjuangannya ternyata tidak berhenti. Salah satu andil besar beliau pada saat di Batavia (nama yang digunakan Pemerintah Belanda) adalah, ketika secara diam-diam beliau ini menjadi pemimpin otak di balik perlawanan “KI DALANG” yang terjadi pada tahun 1924 di Tangerang. Jangan dianggap perlawanan “KI Dalang” hanya skup Tangerang saja, karena buktinya Pemerintah Belanda pasca peristiwa tersebut, memberikan hukuman mati para tokoh-tokohnya, termasuk KH Ahmad Syar’i. Sekalipun Sultan Muhammad Daud Syah ini tidak terlibat di lapangan langsung karena berada dalam pengasingan dan pengawasan ketat Pemerintah Belanda di Jakarta, tapi kepiawaiannya dalam berkomunikasi tetap sulit untuk dideteksi. Pada waktu itu wilayah Tangerang belum terpecah dengan wilayah Jayakarta (Jakarta). Perlawanan “KI DALANG” yang salah satu motornya adalah KH Ahmad Syar’i mendapatkan spirit dan dukungan dari Sultan yang bersahaja ini. Dan jangan lupa dalam biografi KH Ahmad Syar’i tertulis kalau dia pernah belajar Ilmu Politik kepada beberapa tokoh di Rawa Mangun, ya sudah tentu termasuk kepada Sultan Muhammad Daud Syah ini. Dan KH Ahmad Syar’i sendiri adalah anggota Pitung dalam Bidang Strategi yang menggantikan kedudukan Dji’ih pasca syahidnya beliau. Sekalipun Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah berada dalam pengasingan di Batavia, tetapi dia mampu menjalin jaringan dengan pejuang-pejuang Jakarta.  Selain perlawanan “Ki Dalang” saya yakin beliau juga mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh besar politik lain seperti MH Thamrin, Yamin, dll, apalagi Jakarta saat itu merupakan pusat pemerintahan Belanda dan pusat kegiatan politik besar. Keterangan ini juga diperkuat dengan adanya hubungan yang akrab antara salah satu putra beliau dengan Bung Karno. Sayangnya kemudian keberadaan putra beliau terlupakan oleh Bung Karno pasca Bung Karno menjadi Presiden RI.

Hubungan antara KH Ahmad Syar’i Mertakusuma dan Sultan Muhammad Daud Syah  ini juga telah menjawab rasa penasaran saya, kenapa KH Ahmad Syar’i melakukan pelarian dari kejaran Pemerintah Belanda ke wilayah Aceh. Apalagi beliau bisa berhasil masuk ke dalam dalam kondisi peperangan, jelas ini adalah sebuah langkah yang cukup berani. Di Aceh bahkan KH Ahmad Syar’i belajar tentang Strategi Perang dan Nilai-nilai Perjuangan Rakyat Aceh, sekaligus beliau juga belajar Sejarah Aceh dan juga belajar agama dari beberapa tokoh disana. Ini tentu tidak lepas dari andil dari Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah mengingat beliau adalah orang yang cukup berpengaruh di tanah Aceh. Yang juga semakin menguatkan hubungan mereka adalah, bahwa dalam catatan lama keluarga besar KH Ahmad Syar’i, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini tertulis menetap di dalam pengasingannya di wilayah TANAH TINGGI KAYU PUTIH (sekarang sudah hilang dan menjadi wilayah Pulo Mas). KAYU PUTIH TANAH TINGGI seperti yang pernah saya tulis sebelumnya adalah salah satu “Markas Besar” para pejuang Jayakarta. Disitu banyak dimakamkan para Syuhada (makam-makamnya sudah dipindah ke Kayu Putih Utara Masjid Al-Ghoni Jakarta Timur). Di wilayah Kayu Putih Tanah Tinggi juga terdapat seorang ulama Karismatik yang bernama Datuk Kidam dan juga cucunya yang juga tidak kalah karismatiknya yaitu Syekh Abdul Ghoni (Waliyullah Dan salah satu guru Habib Ali Kwitang).

Keterangan ini juga sekaligus menambahkan data bahwa wilayah lokasi pengasingan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah Kayu Putih Tanah Tinggi, karena dalam beberapa catatan sejarah, Sultan Muhammad Daud Syah diasingkan di daerah Pisangan Lama. Secara geografis saya lebih cenderung setuju Sultan Muhammad Daud Syah berada di Kayu Putih Tanah Tinggi apalagi jarak Rawamangun dan Kayu Putih Tanah Tinggi (Pulo Mas) itu sangat dekat, mengingat pula Syekh Abdul Ghoni  adalah ulama yang dikenal mempunyai banyak jaringan yang luas termasuk dengan ulama-ulama Aceh.

Berdasarkan keterangan artikel singkat diatas ditambah keterangan dari Keluarga Besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma,  maka akhirnya saya putuskan untuk mencari keberadaan makam beliau. Rasanya cukup aneh dan janggal kalau Orang sebesar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah tidak diketahui keberadaan makamnya oleh masyarakat Umum apalagi mereka yang mencintai Sejarah lebih khusus lagi warga Jakarta dan Sekitarnya. Dengan menemukan keberadaan makam beliau maka akan semakin memperjelaskan bagaimana posisi dan kedudukan beliau sebagai Sultan Terakhir Aceh dan bagaimana pula hubungannya dengan Jakarta.

Ada sebuah kisah lucu dan unik dalam pencarian makam ini.

Yang saya peroleh dari keterangan tertulis dari Keluarga Besar KH Ahmad Syar’i, bahwa Sultan Muhammad Daud Syah dimakamkan di Pemakaman Utan Kayu Jakarta  Timur. Lha setahu saya daerah Utan Kayu tidak ada pemakaman,  lha wong itu sangat dekat kok dengan rumah saya, itulah  yang menyebabkan saya tempo hari merasa pesimis bisa menemukan makam tersebut. Kemudian saya mencoba browsing internet, ternyata ketemu ! Tapi  tetap saja masih ada ganjalan, karena nama tempat pemakamannya berbeda-beda, ada yang menyebutnya PEMAKAMAN KEMIRI, ada yang menyebutnya PEMAKAMAN UTAN KAYU. Yang membuat saya semakin penasaran, posisi makam ini disebut berada di samping UNJ Rawamangun ! Lho bukannya itu adalah tempat dimakamkan AYAH SAYA ! Tapi setahu saya TPU itu namanya SUNAN GIRI deh dan anehnya rasa-rasanya saya tidak pernah mendengar ada nama tokoh besar Aceh yang dimakamkan disini. Tapi dari dari situ saya kemudian mencoba untuk mengingat-ngingat kembali, adakah makam orang-orang Aceh di pemakaman dekat makam ayah saya ini ? Dan ternyata seingat saya memang ada tiga dan inipun posisinya tidak jauh dari Pos Petugas Pemakaman yang berada dekat di jalan raya, tapi berdasarkan ingatan saya, itu bukanlah makam Sultan Muhammad Daud Syah. Ah daripada pusing, lebih baik saya langsung ke TKP.

Hari Kamis pagi tanggal 30 Juni 2016, saya akhirnya secara singkat mendatangi komplek pemakaman yang juga ada makam ayah saya d Rawamangun itu (hari itu saya cuma bertanya saja). Sambil berdebar-debar saya bertanya kepada beberapa orang yang jual kembang makam di pinggir jalan raya Rawa Mangun Jakarta Timur. Begitu saya bertanya dimana lokasi letak makam “KEMIRI” dijawab mereka, “Lha ini dia pak PEMAKAMAN KEMIRI.....”. Sontak saya kaget dan menjawab, “Lha, ini bukan pemakaman SUNAN GIRI Pak ?” mereka menjawab, “Ya Iya pak, ini juga disebut TPU SUNAN GIRI...”, terus saya bertanya lagi, “Lha kalau TPU UTAN KAYU, yang mana Pak ?”, mereka jawab...”Lha ini juga TPU UTAN KAYU Pak” dan pas saya lihat Plang nama TPU ini ternyata tertulis jelas “TPU UTAN KAYU”. Menurut mereka terkadang Komplek TPU ini sering disebut KEMIRI, karena dulunya disini banyak pohon Kemiri, dan kadang sering disebut UTAN KAYU, karena secara administratif memang masih menjadi bagian wilayah Utan Kayu Jakarta Timur.
Berdasarkan informasi yang saya peroleh, Rawamangun ini ternyata dahulunya juga masuk wilayah Utan Kayu (bahkan plang penunjuk jalan di sekitar kampus UNJ bertuliskan UTAN KAYU RAWAMANGUN. Eh Ladalah........jadi makam Sultan Muhammad Daud Syah itu dekat dengan makam Ayah Saya toh ! Ya Salam.......Jakarta sempit amat nih, fikir saya....Sudah hampir 6 tahun ayah saya dimakamkan di komplek ini, baru tahu kalau ada makam Pejuang Besar plus juga para pengikutnya, dan lebih aneh lagi saya baru tahu kalau komplek pemakaman ini nama aslinya adalah TPU UTAN KAYU, hehehe “kurang piknik” kalau kata istilah teman saya. Yang juga dulu sempat membuat saya tanda tanya, sebelum meninggal Al-Marhum Ayah saya (Allah Yarham..) ingin sekali dimakamkan di Komplek ini, dia beralasan, Pemakaman Sunan Giri ini Nyaman dan Damai buat dirinya, dan beliau ingin dimakamkan yang dekat dengan Musholah. Pantas saja beliau ingin disini karena memang suasana pemakaman disini sangat terasa “damainya” dan memang setahu saya selain Sultan Muhammad Daud Syah, ada beberapa makam Ulama Tempo Dulu Betawi lagi yang mastur dan sering diziarahi banyak orang, beliau bernama KH Muhammad Sholeh (Mbah Sholeh ?) dan di dekat makam Sultan juga saya lihat ada makam seorang kyai yang berusia 99 tahun. 

Hari Jumat pukul 14.45 siang tanggal 1 Juli 2016, saya bersama istri akhirnya memutuskan datang ke pemakaman Sunan Giri atau TPU* Utan Kayu atau TPU Kemiri ini. Sebelumnya sudah tentu saya terlebih dahulu berziarah ke makam ayah saya, setelah berziarah, saya langsung bertanya kepada penjaga yang biasa mengurus makam ayah saya yang sudah cukup akrab bernama Bapak Nimin (Pak Kopral). Pak Kopral kemudian menunjukkan dengan gamblang posisi makam Sultan Muhammad Daud Syah. Beliau juga mengatakan, kalau makam tersebut tergolong tua, dan disekitarnya banyak makam orang-orang Aceh termasuk pengikut Sultan Muhammad Daud Syah.

Dari makam ayah saya, kemudian saya dan istri meluncur kearah belakang komplek pemakaman. Saya menuju makam Sultan Muhammad Daud Syah dengan mengambil patokan Pompa Dragon (pompa tangan) warna hijau. Jarak makam beliau ini lumayanlah jarak tempuhnya jika dimulai dari pintu gerbang masuk. Kurang lebih sekitar 300 meter.  Setelah menemukan pompa dragon warna hijau itu, saya berhenti di pinggir jalan dan melihat posisi di sebelah kanan. Saya berhenti dan melihat beberapa makam, dan akhirnya bertemulah saya dengan makam SULTAN TERAKHIR DARI KESULTANAN ACEH DARUSSALAM INI !

Makamnya termasuk yang berbeda, karena cukup besar, namun tetap bersahaja. Saya cukup terharu menemukan makam ini. Seorang Sultan Besar yang telah mengorbankan jiwa dan raganya, makamnya begitu sangat sederhana dan tidak menunjukkan kelasnya sebagai seorang Sultan Besar yang pernah membuat nyali penjajah bergetar. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi makam tersebut 77 tahun yang lalu (beliau wafat tahun 1939 M). Tentu keberadaannya sangat sunyi dan berada tempat yang sangat jarang diketahui apalagi dikunjungi masyarakat, apalagi pada masa itu wilayah Rawamangun banyak kebun-kebun yang lebat dan sawah-sawah masyarakat Betawi, kalau orang Betawi bilang tempat ini termasuk “Tempat Jin Buang Anak” karena begitu sepinya. Sudah tentu jumlah makam yang ada pada waktu itu tidak terlalu banyak seperti yang sekarang ini. Belanda sepertinya ingin menghilangkan jejak kebesaran Sultan Terakhir Aceh ini dengan “menyembunyikan” posisi makam beliau ini. Sepertinya mereka khawatir jika makam jihadis tangguh ini akan banyak diziarahi orang. Terbukti jika melihat posisi makam, sangat jauh sekali dari jalan raya dan pemukiman, ini kondisi sekarang, apalagi pada masa lalu, yang wilayahnya masih banyak terdapat kebun-kebun yang rapat dan lebat. Sedangkan pusat-pusat kegiatan kota Batavia lebih banyak berada di wilayah Lapangan Banteng, Tanah Abang, Senen, Harmoni, dll. Sampai tahun 1955 saja menurut ayah saya wilayah Pulo Mas apalagi Rawa Mangun itu masih lebat kebun-kebunnya, jalannya juga jarang dilewati kendaraan karena masih sebagian belum beraspal, paling yang sering dilewati wilayah-wilayah Jakarta Pusat.

Setelah berhadapan dengan makam ini, saya kemudian berdoa untuk arwah beliau dan juga pengikutnya yang berada disamping kiri dan kanan. Dan Alhamdulillah, selama saya berziarah tidak ada orang-orang yang dalam beberapa tulisan datang untuk ini, untuk itulah....mereka para petugas makam, hanya melihat biasa saja ketika saya dan istri ziarah. Sekalipun orang-orang tersebut datang untuk “pura-pura” membersihkan makam, bagi saya itu biasa saja..toh memang rezeki mereka banyak terdapat disitu.

Ada nuansa aneh dalam ziarah ke makam beliau ini. Dari rumah saya ngotot sekali untuk memakai kopiah corak hijau dan juga memakai sorban. Padahal sebelumnya kalau saya ziarah, biasa-biasa saja, tapi untuk kali ini ada rasa keinginan besar memakai kopiah dan sorban (padahal saya bukan Ustadz..). Entahlah, saya merasa berpakaian seperti itu karena ingin “menghormati” jasa beliau sebagai pahlawan besar. Simbolisasi ini saya “berikan” karena beliau adalah seorang Sultan Besar dan Pejuang Agama Allah yang luar biasa.

Demi perjuangan jihad fisabilllah Sultan Muhammad Daud Syah ini telah rela mengorbankan hartanya, dia rela keluar masuk hutan demi kebenaran, dia rela meninggalkan tanah airnya, dia rela terisolasi dari rakyatnya. Dia benar-benar keluar dari “zona aman” dalam hidupnya. Tidak banyak Sultan yang bisa bersikap seperti ini. Dia bisa saja menjadi Sultan yang dilantik dan dibawah kendali Belanda, namun itu tidak dia lakukan, karena baginya itu sama saja menjadi “Budak Penjajah”. Dia lebih memilih menderita bersama rakyatnya.

Sekalipun harta keluarga besar Kesultanannya dirampas Penjajah Belanda dan dia kemudian jatuh miskin, tapi penjajah rupanya lupa, Sultan Ini tidak pernah bisa terbeli hatinya sampai kapanpun. Sekalipun dia jatuh miskin, sekalipun ada fihak yang menghianatinya, perlawanannya itu tidak pernah berhenti. Terbukti dia mampu memberikan pengaruh terhadap pejuang-pejuang Jayakarta termasuk memberikan pengaruh kepada Kepada KH Ahmad Syar’i Mertakusuma. Artinya Sultan Muhammad Daud Syah adalah salah satu Guru dan Motivator KH Ahmad Syar’i. Ciri khas keduanya sama, sama-sama tidak pernah mau tunduk terhadap penjajahan, sama-sama ditekan penguasa, sama-sama berhadapan dengan “oknum” penjilat penjajah, sama-sama cinta terhadap jihad fisabillah, sama-sama harus hijrah ke negeri lain, dan sama-sama meninggal dalam kesunyian di negeri orang.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, adalah Jihadis Agung Bangsa Ini, dia tidak hanya milik orang Aceh, dia juga milik orang Jakarta, dia juga milik kita semua. Demi perjuangan dia mungkin bisa saja “hilang” dalam “catatan” sejarah perjuangan bangsa ini, tapi bagi kita yang cinta terhadap perjuangan beliau untuk memperoleh keadilan dan kebenaran, maka sosok beliau ini bisa kita kenang dan patut kita contoh dalam kehidupan sekarang, Kegigihannya dalam mempertahankan prinsip, keuletannya dalam mempertahankan Aqidah adalah sebuah prinsip hidup yang cukup mengagumkan...

Semoga Pejuang Sejati Allah ini ditempatkan ke dalam tempat yang terbaik kelak di akhirat sana....Amin...

Al-Faatehah untuk Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah.....

Bersama As-Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan...

Jumat, 13 Mei 2016

http://googleweblight.com/?lite_url=http://www.historischnieuwsblad.nl/nl/artikel/6775/jo-van-heutsz-1851-1924.html&ei=BGqC7cNF&lc=id-ID&s=1&m=34&host=www.google.co.id&ts=1463207667&sig=APY536z1Evy80vBDkG3Cp0HHFR6bjekz6A

Jumat, 15 April 2016

Minggu, 03 April 2016

http://megachannelz.com/kerajaan-kerajaan-melayu-yang-hilang-kini-sudah-ditemui/

Minggu, 28 Februari 2016

ciri2 syiah

Menurut Ali Muhammad Ash Shalabi, taqiyah dalam Syiah ada empat unsur pokok ajaran; Pertama, Menampilkan hal yang berbeda dari apa yang ada dalam hatinya. Kedua, taqiyah digunakan dalam berinteraksi dengan lawan-lawan Syiah. Ketiga, taqiyah berhubungan dengan perkara agama atau keyakinan yang dianut lawan-lawan. Keempat, digunakan di saat berada dalam kondisi mencemaskan

Menurut Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi di Majalah Islam Internasional Qiblati, ciri-ciri pengikut Syi’ah sangat mudah dikenali, kita dapat memperhatikan sejumlah cirri-ciri berikut:

Mengenakan songkok hitam dengan bentuk tertentu. Tidak seperti songkok yang dikenal umumnya masyarakat Indonesia, songkok mereka seperti songkok orang Arab hanya saja warnanya hitam.Tidak shalat jum’at. Meskipun shalat jum’at bersama jama’ah, tetapi dia langsung berdiri setelah imam mengucapkan salam. Orang-orang akan mengira dia mengerjakan shalat sunnah, padahal dia menyempurnakan shalat Zhuhur empat raka’at, karena pengikut Syi’ah tidak meyakini keabsahan shalat jum’at kecuali bersama Imam yang ma’shum atau wakilnya.Pengikut Syi’ah juga tidak akan mengakhiri shalatnya dengan mengucapkan salam yang dikenal kaum Muslimin, tetapi dengan memukul kedua pahanya beberapa kali.Pengikut Syi’ah jarang shalat jama’ah karena mereka tidak mengakui shalat lima waktu, tapi yang mereka yakini hanya tiga waktu saja.Mayoritas pengikut Syi’ah selalu membawa At-Turbah Al-Husainiyah yaitu batu/tanah (dari Karbala – redaksi) yang digunakan menempatkan kening ketika sujud bila mereka shalat tidak didekat orang lain.Jika Anda perhatikan caranya berwudhu maka Anda akan dapati bahwa wudhunya sangat aneh, tidak seperti yang dikenal kaum Muslimin.Anda tidak akan mendapatkan penganut Syi’ah hadir dalam kajian dan ceramah Ahlus Sunnah.Anda juga akan melihat penganut Syi’ah banyak-banyak mengingat Ahlul Bait; Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiyallahu anhum.Mereka juga tidak akan menunjukkan penghormatan kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, mayoritas sahabat dan Ummahatul Mukminin radhiyallahu anhum.Pada bulan Ramadhan penganut Syi’ah tidak langsung berbuka puasa setelah Adzan maghrib; dalam hal ini Syi’ah berkeyakinan seperti Yahudi yaitu berbuka puasa jika bintang-bintang sudah nampak di langit, dengan kata lain mereka berbuka bila benar-benar sudah masuk waktu malam. (mereka juga tidak shalat tarwih bersama kaum Muslimin, karena menganggapnya sebagai bid’ah)Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menanam dan menimbulkan fitnah antara jamaah salaf dengan jamaah lain, sementara itu mereka mengklaim tidak ada perselisihan antara mereka dengan jamaah lain selain salaf. Ini tentu tidak benar.Anda tidak akan mendapati seorang penganut Syi’ah memegang dan membaca Al-Qur’an kecuali jarang sekali, itu pun sebagai bentuk taqiyyah (kamuflase), karena Al-Qur’an yang benar menurut mereka yaitu al-Qur’an yang berada di tangan al-Mahdi yang ditunggu kedatangannya.Orang Syi’ah tidak berpuasa pada hari Asyura, dia hanya menampilkan kesedihan di hari tersebut.Mereka juga berusaha keras mempengaruhi kaum wanita khususnya para mahasiswi di perguruan tinggi atau di perkampungan sebagai langkah awal untuk memenuhi keinginannya melakukan mut’ah dengan para wanita tersebut bila nantinya mereka menerima agama Syi’ah. Oleh sebab itu Anda akan dapati;Orang-orang Syi’ah getol mendakwahi orang-orang tua yang memiliki anak putri, dengan harapan anak putrinya juga ikut menganut Syi’ah sehingga dengan leluasa dia bisa melakukan zina mut’ah dengan wanita tersebut baik dengan sepengetahuan ayahnya ataupun tidak. Pada hakikatnya ketika ada seorang yang ayah yang menerima agama Syi’ah, maka para pengikut Syi’ah yang lain otomatis telah mendapatkan anak gadisnya untuk dimut’ah. Tentunya setelah mereka berhasil meyakinkan bolehnya mut’ah. Semua kemudahan, kelebihan, dan kesenangan terhadap syahwat ini ada dalam diri para pemuda, sehingga dengan mudah para pengikut Syi’ah menjerat mereka bergabung dengan agama Syi’ah.

Ciri-ciri mereka sangat banyak. Selain yang kami sebutkan di atas masih banyak ciri-ciri lainnya, sehingga tidak mungkin bagi kita untuk menjelaskan semuanya di sini. Namun cara yang paling praktis ialah dengan memperhatikan raut wajah. Wajah mereka merah padam jika Anda mencela Khomeini dan Sistani, tapi bila Anda menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dan Hafshah, atau sahabat-sahabat lainnya radhiyallahu anhum tidak ada sedikitpun tanda-tanda kegundahan di wajahnya.

Akhirnya, dengan hati yang terang Ahlus Sunnah dapat mengenali pengikut Syi’ah dari wajah hitam mereka karena tidak memiliki keberkahan, jika Anda perhatikan wajah mereka maka Anda akan membuktikan kebenaran penilaian ini, dan inilah hukuman bagi siapa saja yang mencela dan menyepelekan para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para ibunda kaum Musliminradhiyallahu anhunn yang dijanjikan surga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita memohon hidayah kepada Allah untuk kita dan mereka semua

arahman

model masijdil Haram

Kerajaan Saudi dan Amerikaisasi Kota Suci Umat Islam




MUSIBAH demi musibah dialami jemaah haji tahun ini, rata-rata disebabkan mismanajemen; dari mulai crane jatuh, jadwal jamarat yang dilanggar yang kemudian muncul tragedi Mina, dan sebagainya. Korban sudah ratusan jiwa, tetapi ini bukan perkara enak tidaknya menjadi syuhada meninggal dalam keadaan berhaji, melainkan ada sebuah pertanyaan yang secara tiba-tiba saja muncul, apakah dari semua tragedi ini Tuhan ingin menunjukan bahwa ada sesuatu yang sebetulnya tidak beres dalam persoalan haji, soal Tanah Suci Mekkah yang kini dikuasai Kerajaan Arab Saudi?

Selama ini, memang banyak kritik dari dunia Islam mengenai Kerajaan Arab Saudi, baik kritik politik maupun keagamaan. Dari segi politik, karena Kerajaan Arab Saudi selama ini sangat berhubungan “mesra” dengan pemerintah Washington, Amerika Serikat (AS). Dalam bidang keagamaan, karena kerajaan ini memegang erat Wahabisme yang menjadi paham resmi negara, tentu sangat berseberangan dari paham-paham keagamaan mainstream di dunia Islam yang umumnya adalah ahli sunnah waljamaah (Aswaja).

Wahabisme memang baru lahir pada abad ke 17 M, tetapi Nabi Muhammad saw mengetahui perihal akan kemunculannya, dalam salah satu hadis, misalnya berbunyi: “Kelak akan ada kaum yang hafal Alquran, namun saat membaca tak sampai dikerongkongannya, hafal hadis namun tak mengikuti sunahnya, mereka keluar dari Islam laksana anak panah yang terlepas dari busurnya. Seandainya aku hidup pada masa itu, aku akan memeranginya, kaum itu akan datang dari arah Nejd…”

Ayah dan semua saudara Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabi) adalah dari keluarga Aswaja, yakni penganut kukuh Mazhab Imam Ibn Hambal. Bahkan ayahnya adalah seorang ulama besar Mazhab Hambali. Suatu ketika ayah dan saudaranya sendiri menasihati Muhammad bin Abdul Wahhab supaya kembali pada ajaran Aswaja.

Ka’bah dikelilingi Hotel-hotel Mewah Amerika
Karena perilaku ajarannya sudah jauh menyimpang, yakni sering mengafirkan ulama-ulama Islam terdahulu, sementara jika kata “kafir” sudah terlontar dari mulut, ada dua kemungkinan siapa yang sebenarnya kafir, si pelontarnya atau orang yang dikafirkan itu. Sementara ulama-ulama Islam di masa lalu jelas tidak kafir, sebaliknya adalah orang-orang suci dan mulia.

Jika ada pertanyaan perlukah monarki di Tanah Suci? Yang jelas adanya eksistensi negara dan pemimpin mutlak harus ada. Semestinya Arab Saudi menjadi negara dengan sistem politik modern jika konsisten melanjutkan piagam madinahnya Nabi Muhammad. Dan semestinya paham keagamaan negaranya adalah Aswaja karena Nabi sendiri berpesan dalam sebuah hadisnya: “Kuunu ma’al jamaah (ay ahl sunnah wa al Jamaah) wa in sadda sadda finnar” (Kita harus berpegang dalam Aswaja, jika sendiri-sendiri akan masuk neraka).

Meski demikian, sejarah padang pasir dari dulu dikuasai suku-suku besar, seperti di zaman Nabi sendiri yang berkuasa adalah Quraish (suku terbesar dan berkuasa kala itu). Sejak peristiwa fath makkah, teori siapa suku terkuat dialah penguasa terputus, hingga muncul the lion of nejd Abdul Aziz dari Nejd yang kemudian mendirikan Kerajaan Saudi pada dekade 1930-an.

Abdul Aziz menguasai Mekah-Madinah tak lama setelah kekuasaan Turki Usmani ambruk, saat itu menjadi jantungnya kekhalifahan Islam terakhir karena kalah dalam Perang Dunia I. Abdul Aziz kemudian merangkul AS dan sekutunya hingga saat ini untuk mengokohkan kekuasaannya.

Sebagai konsekuensi dari paham Wahabisme ini, misalnya, pemerintah Arab Saudi sangat membatasi jemaah haji yang ingin mengunjungi tempat-tempat suci (dalam bahasa Indonesia: keramat), karena hal itu dilarang dalam paham Wahabisme. Lagi pula telah banyak situs-situs bersejarah Islam awal telah diporak-porandakan pemerintah Saudi.

Sebab itu jangan mengharap untuk menemukan tanda-tanda pegawai dari pemerintah yang bertugas menunjukkan jalan menuju tempat keramat seperti rumah baginda Nabi Muhammad dilahirkan, misalnya, ketika umat Islam beribadah haji. Jika jemaah haji ingin menemukannya, ia harus bertanya-tanya atas inisiatif sendiri.

Atau misalnya ingin mengunjungi Gua Hira, tempat bersejarah di mana dahulu Nabi Muhammad terluput dari pembunuhan karena dikejar-kejar orang kafir Quraish. Maka jemaah haji hanya mengikuti jemaah lain yang sudah tahu jalan ke Gua Hira. Atau seperti pengakuan Farid Esack dalam karyanya On Being a Moslem (2009), kita cukup mengikuti kaleng-kaleng Pepsi yang berserakan di sepanjang jalan terjal hingga sampai ke mulut gua.

Pengalaman haji seseorang sering menemukan pertanda bahwa “bisnis kapitalisme” sebenarnya telah lama berkembang di Tanah Suci. Seperti juga penelitian antropolog Martin van Bruinessen yang menyebut bahwa Kota Mekah bak Manhattan di pusat Kota New York. Yang megah dengan singgasana hotel, mal, dan apartemen mengelilingi Masjidil Haram. Bisnis kapitalisme sudah berjalan berkelindan dengan penguasa pengelola tempat-tempat suci.

Contoh lain simbol kapitalisme di Tanah Suci ialah bangunan bernama Abraj al Bait; ada 20 lantai pusat perbelanjaan dan sebuah hotel dengan 800 kamar. Garasinya bisa menampung 1.000 mobil. Tapi para tamu dan penghuni juga bisa datang dengan helikopter, karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu menyewa, atau memiliki kendaraan terbang.

Ongkos semalam di salah satu kamar di Makkah Clock Royal Tower bisa mencapai Rp7 juta. Dari ruang yang disejukkan AC itu orang-orang dengan uang berlimpah bisa memandang ke bawah, mengamati ribuan muslimin yang bertawaf mengelilingi Kakbah.

Abraj al Bait yang begitu megah dan gemerlap, dengan 21 ribu lampunya yang memancar sampai sejauh 30 km dan membuat rembulan di langit pun mungkin tersisih. Betapa berubahnya Mekah. Bahkan menurut Irfan al-Alawi, seorang direktur Islamic Heritage Research Foundation di London, menyebutnya “It is the end of Mekkah“.

Transformasi Mekah dibangun oleh kekuatan kapitalisme membuat sebuah kota seperti Manhattan, sebuah kota dengan belantara bangunan menjulang. Wahabisme adalah kekuatan di belakang dihancurkannya sisa-sisa masa lalu. Selama 50 tahun terakhir, sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan.

Sejarah Arab Saudi mencatat dihapusnya peninggalan sejarah itu secara konsisten. April 1925, di Madinah, kubah di makam Al-Baqi’ diruntuhkan. Beberapa bagian qasidah karya al-Busiri (1211—1294) yang diukir di makam Nabi sebagai hymne pujaan ditutupi cat oleh penguasa agar tak bisa dibaca. Di Mekah, makam Khadijjah, istri Nabi, dihancurkan. Kemudian tempat di mana rumahnya dulu berdiri dijadikan kakus umum. Na’udzubillahimin dzalik.

Sumber: Salafy News

://bantushare.com/kerajaan-saudi-dan-amerik-aisasi-kota-suci-umat-islam/

wahabi

https://youtu.be/ZTuLfsX8e_I

Jumat, 26 Februari 2016

kopian semata

 Beranda Daftar Isi Versi Mobile ▼

Friday, 3 July 2015

Inilah 5 Alasan Mereka Tidak Mau Disebut Wahabi

Muslimedianews.com ~ Terkait dengan istilah Wahhabi, setidaknya pengikut Wahhabi terbagi menjadi dua bagian. Pertama, orang-orang atau kelompok yang bangga disebut Wahhabi. Sebab menurut mereka, sebutan Wahhabi adalah sebuatan untuk kelompok yang mendakwahkan tauhid yang lurus yag dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Nadji.

Baca: Ternyata Ulama Wahhabi Bangga Disebut sebagai Wahhabi 

Kedua, kelompok atau pengikut Wahhabi yang tidak mau disebut Wahhabi. Mereka malu dan takut disebut sebagai Wahhabi. Mereka memberikan beberapa alasan yang tumpang tindih terkait dengan penolakan mereka disebut sebagai Wahhabi, bahkan sambil menyebarkan kebohongan. 

Ketakutan dan rasa malu mereka sehingga tidak mau disebut sebagai wahhabi karena pada dasarnya mereka menyadari sejarah kelam dan kekejaman Wahhabi yang tak akan pernah terlupakan dalam sejarah Islam. Sehingga mereka menciptakan beberapa alasan untuk menolak istilah Wahhabi tersebut.

Setidaknya ada 5 alasan (dalih) mereka yang berusaha menolak istilah Wahhabi:

(1). Tidak mau (malu/takut) disebut Wahhabi karena menurut mereka, nisbat Wahhabi bukan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Nadji, tetapi kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum. 

Dalih ini baru muncul setelah seorang Wahhabi bernama Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’irmengalami salah paham terkait dengan istilahWahhabiyyah (الوهَّابيَّة) dan Wahbiyyah (الوَهْبِيَّة) dalam tulisannya yang mencantumkan fatwa Al-Lakhmi. Kesalah-pahaman itu ternyata diadobsi oleh kalangan Wahhabi, khususnya Wahhabi di Indonesia, seperti Abu Yahya Badrussalam Lc dan lain-lain. 

Baca: Memahami Antara Wahhabi, Wahbi, Ibnu Rustum dan Ulama Wahhabi 

Baca Abdul Wahhab bin Rustum Pengikut Wahbiyyah bukan Wahhabiyyah

BacaKepalsuan Gambar Perbedaan Dua Wahabi di Sosmed 
Baca: Dongeng Populer Wahhabiyyah Rustumiyyah

(2). Tidak mau (takut/malu) disebut Wahhabi karena menurut mereka, nisbat Wahhabi adalah nisbat yang salah. Mereka mengatakan bahwa bila pendirinya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab maka seharusnya namanya adalah Muhammadi atau Muhammadiyah bukan Wahhabi atau Wahhabiyyah. 

Perkataan mereka tersebut datang dari kalangan yang masih awam dalam memahami persoalan nisbat. Sebab nisbat tidak harus dengan nama pendirinya, tetapi boleh dengan nama ayahnya, kakeknya dan seterusnya, bahkan dengan mudloh ilah-nya.

Misalnya, istilah Syafi'iyah tidak dinisbatkan kepada pengasasnya. Nama pengasasnya adalahMuhammad bin Idris bin Al-'Abbas bin 'Utsman bin Syaafi'. Syafi' adalah nama dari kakeknya yang sudah terbait jauh. Begitu banyak penisbatan yang tidak menggunakan nama pendiri atau pengasasnya. Dan nisbat juga tidak mesti dengan nama depannya, boleh dengan mudloh ilaihnya, seperti Abdul Qais, nisbahnya menjadi Qaisy. 

(3). Tidak mau (takut/malu) disebut Wahhabi karena menurut mereka, istilah Wahhabi berasal orientalis barat atau orang kafir yang benci terhadap dakwah mereka. 

Dalih tersebut merupakan kebohongan daripada ustadz-ustadz Wahhabi. Sebab, penamaan Wahhabi yang dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab diberikan pertama kali oleh kakak kandung pendiri Wahhabi sendiri, yaitu Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Najdi al-Hanbali dalam kitabnya al-Shawaiq al-Ilahiyyah fi raddi alal Wahhabiyah, kemudian istilah itu diikuti oleh para ulama. 

Baca: Kebohongan Ustadz Wahabi Muhammad Arifin Badri tentang Nisbat Wahhabi 

(4). Tidak mau (takut/malu) disebut Wahhabi karena menurut mereka, istilah Wahhabi ciptaan Syi'ah untuk menjelekkan dakwah mereka. Kata mereka, Syi'ah melabeli semua yang anti Syi'ah sebagai Wahhabi.

Dalih tersebut juga merupakan kebohongan. Kebohongan ini baru-baru saja muncul atau diciptakan oleh Wahhabi ditengah gencarnya isu mengenai Syi'ah. Kebohongan ini diantaranya disebarkan oleh ustadz Wahhabi Khalid Basalamah, orang PKS Jonru melalui fanpagenya, dan yang terbaru disebarkan oleh Wahhabi Sony Abu Hussein Ath-Thuwailibi, Abu Jibril / komplotan situs radikal Arrahmah .com , serta orang-orang awam Wahhabi di jejaring sosial. 

Sebutan Wahhabi berasal dari kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah (Sunni/Aswaja) yang pertama kali diberikan oleh Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab (kakak kandung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) sebagaimana penjelasan sebelumnya, kemudian istilah itu digunakan oleh para ulama Ahlussunnah lainnya. 

Bila ada Syi'ah menggunakan istilah Wahhabi kepada orang Wahhabi maka berarti ada kemajuan, sebab mereka berarti bisa memilah mana yang Ahlussunnah wal Jama'ah (asli) dan mana yang Wahhabi (Ahlussunnah KW). Tetapi sayangnya, Syi'ah kadang tidak bisa membedakan hal tersebut. Yang mereka tahu, Sunni ya Sunni. Seperti halnya Barat, yang mereka tahu hanyalah Islam ya Islam. Misal, pengeboman yang dilakukan Wahhabi, orang-orang Barat mengatakan itu dilakukan oleh muslim. Sebagian mereka kurang mengerti bahwa itu dilaukan oleh kalangan muslim yang Wahhabi. Maka Islam mendapat citra yang buruk di mata dunia karena kelakukan Wahhabi.

Kekurang-mampuan sebagian Syi'ah membedakan hal tersebut, menjadi mereka menyangka bahwa setiap yang anti Syi'ah dikira Wahhabi. Padahal Aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah) juga tidak sepakat dengan paham Syi'ah. 

Baca: Julukan Wahabi hanya Dipakai Syi’ah, Benarkah? Tanggapan Untuk Khalid Basalamah 
Baca: MENJAWAB PROPAGANDA Benarkah Menggelari Wahhabi berarti Membantu Syi'ah ? 
Baca: MENJAWAB PROPAGANDA: Benarkah Sebutan Wahhabi adalah Ciptaan Syi'ah ? 
Baca: Jonru dan Hoax tentang Sebutan Wahhabi

(5). Tidak mau disebut Wahhabi karena menurut mereka, sebutan Wahhabi dinisbatkan kepada nama Allah, Al-Wahhab. Ini adalah dalih dari kalangan Wahhabi yang sudah tidak memiliki alasan lagi. Ini pernah dikemukan oleh Muhammad bin Jamil Zainu dalam bukunya Quthuf Min asy Syama’il al Muhammadiyyah.

Mungkin saja, berikutnya mereka akan membuat dalih baru untuk menolak penamaan Wahhabi dengan alasan istilah Wahhabi berasal dari kalangan Liberal / JIL dan sebagainya. Alasan ini belum ada dilontarkan oleh kalangan Wahhabi sebab mereka tahu bahwa istilah Wahhabi tidak berasal dari kalangan Liberal. 

Hal seperti ini penting diketahui oleh umat Islam agar tidak terjebak dalam propaganda Wahhabi. 


Penulis : Ibnu Manshur


penjelasan tentang syiah dan wahabi

SYI’AH VERSUS WAHABI

Oleh: Habib Muhammad Rizieq bin Husein bin Muhammad Shihab Lc.

(Imam Besar Front Pembela Islam/ FPI)

Assalaamu ‘Alaikum Wa Rohmatullaahi Wa Barokaatuh… Bismillaah Wal Hamdulillaah… Wash-sholaatu Was-salaamu ‘Alaa Rasuulillaah… Wa ‘Alaa Aalihi Wa Shohbihi Wa Man Waalaah …

Imam Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad rhm (wafat: 1.132 H) dalam kitab “Tatsbiitul Fu-aad” membahas tuntas tentang sikap Kaum Roofidhoh (-Jamaknya : Rowaafidh-) yang selalu melecehkan Shahabat Nabi SAW dengan “dalih” membela Ahli Bait Nabi SAW, dan Kaum Naashibah (-Jamaknya : Nawaashib-) yang sering melecehkan Ahli Bait Nabi SAW dengan “dalih” membela Shahabat Nabi SAW.

Dan dalam juz 2 halaman 227 kitab tersebut, Imam Al-Haddad rhm menyatakan tentang Roofidhoh dan Naashibah: ” بعرة مقسومة نصفين ” “Kotoran Unta yang dibelah dua.”

“Roofidhoh” dan “Nawaashib” adalah musuh bebuyutan, sepanjang sejarah tidak pernah akur, bagaikan air dan minyak, tidak pernah bisa bersatu. Satu sama lainnya saling mengkafirkan, bahkan hingga kini kedua belah pihak saling bernafsu untuk memerangi dan membunuh pihak lainnya. Lihat saja “Konflik Berdarah” di Iraq dan Syria saat ini, yang telah menjadi “Tragedi Kemanusiaan” yang sangat memilukan dan menyayat hati muslim mana pun yang menyintai “Wihdah Islaamiyyah”.

Bagi Roofidhoh bahwa Nawaashib lebih berbahaya daripada Yahudi maupun Nashrani. Dan bagi Nawaashib justru Roofidhoh lah yang lebih berbahaya daripada Yahudi dan Nashrani. Baik Roofidhoh maupun Nawaashib sama-sama anti Dialog dan Anti Toleransi Antar Madzhab Islam. Mereka selalu menolak bahkan merusak semua upaya pemersatuan umat Islam sepanjang zaman.

Mereka lebih suka perang sesama muslim daripada perang melawan Zionis dan Salibis Internasional. Mereka lebih suka membunuh sesama muslim daripada memerdekakan Palestina dan Masjid Al-Aqsha dari cengkeraman Israel. Innaa Lillaahi wa Innaa ilaihi Rooji’uun …

SYIAH dan ROOFIDHOH

Memang tidak semua Syiah adalah Roofidhoh, namun tidak bisa diingkari bahwa kebanyakan Syi’ah bersikap Roofidhoh. Harus kita akui bahwa di kalangan Ulama Syiah tidak sedikit yang berupaya mencegah dan melarang penghinaan terhadap para Shahabat Nabi SAW untuk menjaga dan membangun Ukhuwwah Islamiyyah, namun upaya para Ulama Reformis Syiah tersebut tenggelam dalam fanatisme Awam Syiah yang cenderung bersikap Roofidhoh.

Fanatisme Awam Syiah tersebut bukan tanpa sebab, justru lahir dan menguat akibat aneka kitab Syi’ah dan berbagai pernyataan Ulama mereka sendiri yang menghina Shahabat Nabi SAW sekaliber Sayyiduna Abu Bakar RA dan Sayyiduna Umar RA. Bahkan isteri Nabi SAW seperti Sayyidah Aisyah RA dan Sayyidah Hafshoh RA pun tak luput dari penghinaan mereka.

Salah satunya, lihat saja kitab “Al-Anwaar An-Nu’maaniyyah” karya Syeikh Ni’matullaah Al-Jazaa-iriy yang isinya dipenuhi dengan hinaan terhadap para Shahabat Nabi SAW. Bahkan dia mengkafirkan Nawaashib, dan menuduh semua Aswaja yang tidak mengutamakan Sayyiduna Ali RA di atas semua Shahabat sebagai Nawaashib yang Kafir.

Dalam kitab tersebut juz 2 halaman 307 disebutkan:

إنهم كفار أنجاس بإجماع علماء الشيعة الإمامية ، وإنهم شر من اليهود والنصارى ، وإن من علامات الناصبي تقديم غير علي عليه في الإمامة .”

“Sesungguhnya mereka (-Nawaashib-) adalah Kafir dan Najis dengan Ijma’ Ulama Syiah Imamiyyah. Dan sesungguhnya mereka lebih jahat daripada Yahudi dan Nashrani. Dan sesungguhnya daripada tanda-tanda seorang Naashibah adalah mendahulukan selain Ali di atasnya dalam Imamah.”

Di Indonesia, sejumlah Tokoh Syiah secara terang-terangan menghina para Shahabat dan Isteri Nabi SAW, seperti:

Jalaluddin Rahmat dalam buku “Shahabat dalam Timbangan Al-Qur’an, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan” hal. 7, dan catatan kaki buku “Meraih Cinta Ilahi” hal. 404 – 405 dan 493, serta buku “Manusia Pilihan yang Disucikan” hal. 164 – 166.Emilia Renita AZ dalam buku “40 Masalah Syiah” hal.83.Haidar Barong dalam buku “Umar dalam Perbincangan” dihampir semua bab.

Selain itu, masih ada lagi IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) yang dinakhodai oleh Jalaluddin Rahmat cs yang sering melecehkan Shahabat Nabi SAW dalam aneka seminar dan pertemuan. Bahkan sering melecehkan Islam dengan membela aneka Aliran Sesat seperti Ahmadiyah, sehingga patut disebut sebagai “Syiah Liberal”.

Syiah Roofidhoh memang secara demonstratif dan konfrontatif serta provokatif menunjukkan kebenciannya kepada Shahabat Nabi SAW, khususnya Sayyiduna Abu Bakar RA dan Sayyiduna Umar RA, beserta kedua putri mereka yaitu Sayyidah Aisyah RA dan Sayyidah Hafshoh RA.

Saking bencinya kepada Sayyiduna Abu Bakar RA dan Sayyiduna Umar RA, kalangan Roofidhoh membuat “Doa Dua Berhala” yang isinya melaknat habis kedua Shahabat Mulia Nabi SAW tersebut. Bahkan mereka haramkan siapa pun dari kalangan mereka diberi nama Abu Bakar atau Umar, atau nama putri keduanya yaitu Aisyah atau Hafshoh.

Karenanya, Aswaja sepakat sejak dulu hingga kini, bahwasanya “Syiah Roofidhoh” adalah firqoh yang sesat menyesatkan. Apalagi “Syiah Ghulat” yang menabikan atau menuhankan Sayyiduna Ali RA, dan menganggap para Imam mereka sebagai Utusan atau Titisan Tuhan, serta memvonis Al-Qur’an kurang dan tidak asli lagi, maka Aswaja sepakat bahwa Syiah Ghulat adalah Kafir dan Murtad, bukan lagi termasuk Islam.

Ada pun “Syiah Moderat” yang berjiwa Reformis, mereka bukan Ghulat dan bukan Roofidhoh. Mereka adalah saudara muslim yang harus dihormati bukan dicaci, dirangkul bukan dipukul, diajak dialog bukan ditonjok, dilawan dengan dalil bukan dengan bedil.

RIWAYAT HADITS SYIAH

Jadi, jangan ada sikap gebrah uyah dengan “penggeneralisiran” semua Syiah pasti Ghulat dan pasti Roofidhoh, sehingga semuanya pasti Kafir dan Murtad atau Sesat. Sikap seperti itu sangat gegabah dan amat tidak ilmiah, serta bukan sikap Aswaja.

Selain itu, dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta Kitab Hadits Aswaja lainnya terdapat “Perawi Syiah”, tapi bukan dari kalangan Ghulat yang Kafir, sehingga jika “mereka” dikafirkan juga, maka berarti ada “Perawi Kafir” dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta Kitab Hadits Aswaja lainnya.

Itu sangat berbahaya, karena bisa menjadi “Bumerang” yang menyerang balik dan menghancurkan Aswaja . Itu tidak dilakukan kecuali oleh mereka yang bodoh tentang Ilmu “Jarh wat Ta’diil” atau oleh “penyusup” yang pura-pura jadi Aswaja, padahal tujuannya merusak Aswaja.

Justru adanya riwayat Syiah dalam Kitab Hadits Aswaja, menunjukkan bahwa Aswaja dalam periwayatan Hadits memiliki Metode yang netral, adil, jujur dan amanat, serta jauh dari sikap Fanatisme Madzhab.

Silahkan buka pernyataan Imam Adz-Dzahabi rhm tentang “Riwayat Syi’ah” dalam kitab “Mizaanul I’tidaal” juz 1 hal.29 No.2 pada ulasan “Perawi Syiah” bernama “Abaan bin Taghlib” , dan juz 1 hal.53 No.86 pada ulasan “Perawi Syiah” yang bermama “Ibrahim bin Al-Hakam”.

Semua pernyataan Imam Adz-Dzahabi rhm tentang “Riwayat Syiah” dinukilkan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolaani rhm dalam kitab “Lisaanul Miizaan” juz 1 hal.103 -104. Atau cari dan baca saja langsung dalam kitab-kitab Dirooyaat Hadits, nama-nama seperti: Ibrahim bin Yazid, Salim bin Abil Ja’di, Al-Hakam bin ‘Utaibah, Salamah bin Kuhail, Zubaid bin Al-Harits, Sulaiman bin Mihran, Ismail bin Zakaria, Khalid bin Makhlad, Sulaiman bin Thorkhon dan Sulaiman bin Qorom. Mereka semua adalah Syiah, tapi ditsiqohkan dan diterima riwayatnya oleh Ahli Hadits Aswaja.

Inilah bukti bahwa Aswaja adalah Madzhab Islam yang Muhaayid (Netral) dan I’tidaal (Adil), serta Tawassuth (Pertengahan) dan Tawaazun (Seimbang), juga Tasaamuh (Toleran).

WAHABI dan NAASHIBAH

Memang tidak semua Wahabi adalah Naashibah, namun tidak bisa diingkari bahwa kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah. Memang di kalangan Ulama Wahabi tidak sedikit yang berupaya mencegah dan melarang penghinaan terhadap para Ahli Bait Nabi SAW dalam bentuk apa pun, untuk menjaga dan membangun Ukhuwwah Islamiyyah, namun upaya para Ulama Reformis Wahabi tersebut juga tenggelam dalam fanatisme Awam Wahabi yang cenderung bersikap Naashibah.

Fanatisme Awam Wahabi tersebut bukan tanpa sebab, justru lahir dan menguat akibat aneka kitab Wahabi dan berbagai pernyataan Ulama panutan mereka sendiri yang menghina Ahli Bait Nabi SAW sekaliber Sayyiduna Ali RA dan isterinya Sayyidah Fathimah RA serta kedua putranya Sayyiduna Al-Hasan RA dan Sayyiduna Al-Husein RA.

Salah satunya, lihat saja kitab “Minhaajus Sunnah” karya Syeikh Ibnu Taimiyyah sang panutan dan rujukan kalangan Wahabi, yang isinya dipenuhi dengan penghinaan terhadap Ahli Bait Nabi SAW.

Dalam kitab tersebut, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa imannya Sayyidah Khadijah RA tidak manfaat buat umat Islam. Dan bahwa Sayyidah Fathimah RA tercela seperti orang munafiq. Serta Sayyidina Ali RA seorang yang sial dan selalu gagal, serta berperang hanya untuk dunia dan jabatan bukan untuk agama, dan juga perannya untuk Islam tidak seberapa.

Ada pun Sayyiduna Al-Hasan RA dan Sayyiduna Al-Husein RA tidak zuhud dan tidak berilmu, serta tidak ada keistimewaannya. Lalu soal pembunuhan Sayyiduna Al-Husein RA hanya masalah kecil, lagi pula dia salah karena melawan Khalifah Yazid yang benar. Dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolaani rhm dalam kitab “Ad-Durorul Kaaminah” juz 1 hal.181 – 182 saat mengulas tentang Ibnu Taimiyyah menyatakan:

“ومنهم من ينسبه إلى النفاق لقوله في علي ما تقدم .”

“Dan di antara mereka (-para Ulama-) ada yang menisbahkannya (-Ibnu Taimiyyah-) kepada Nifaq, karena ucapannya tentang Ali sebagaimana telah disebutkan.”Dan dalam kitab “Lisaanul Miizaan”, Sang Begawan Hadits ini menyimpulkan:

“كم من مبالغة لتوهين كلام الرافضي أدته أحيانا إلى تنقيص علي .”

“Berapa banyak sikap berlebihan (Ibnu Taimiyyah) dalam merendahkan perkataan Roofidhoh terkadang mengantarkannya kepada pelecehan Ali.”

Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu:

Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :

“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.

Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.

Di Indonesia, sejumlah Tokoh Wahabi secara terang-terangan menyatakan bahwa Madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja, bahkan Firqoh sesat menyesatkan, antara lain:

Yazid Abdul Qadir Jawaz dalam buku “Mulia dengan Manhaj Salaf” bab 13 hal. 519 – 521.Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam buku “Risalah Bid’ah” bab 19 hal. 295 dan buku “Lau Kaana Khairan lasabaquunaa ilaihi” bab 6 hal. 69.Hartono Ahmad Jaiz dalam buku “Bila Kyai Dipertuhankan” hal.165 – 166.

Selain mereka, masih ada Mahrus Ali yang mengaku sebagai Mantan Kyai NU melalui lebih dari sepuluh buku karangannya secara eksplisit menyesatkan aneka amaliyah NU yang bermadzhab Asy’ari Syafi’i.

Karenanya, Aswaja pun sepakat sejak dulu hingga kini, bahwasanya Khawaarij maupun Naashibah adalah firqoh yang sesat menyesatkan. Jadi, Wahabi yang berpaham Khawaarij dan bersikap Nawaashib juga merupakan firqoh yang sesat menyesatkan.

Ada pun “Wahabi Moderat” yang berjiwa Reformis, mereka bukan Khawaarij Takfiirii dan bukan juga Nawaashib. Mereka adalah saudara muslim yang wajib dihormati bukan dicaci, dirangkul bukan dipukul, diajak dialog bukan ditonjok, dilawan dengan dalil bukan dengan bedil.

Apalagi mereka masih berpegang kepada sumber hadits yang sama dengan Aswaja, seperti Muwaththo’ Malik dan Musnad Ahmad serta Kutubus Sittah, yaitu: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Jami’ At-Tirmidzi, Sunan An-Nasaa-i, Sunan Abi Daud dan Sunan Ibni Maajah, dan kitab-kitab Hadits Aswaja lainnya.

RIWAYAT NAWAASHIB

Jadi, jangan ada sikap gebrah uyah dengan “penggeneralisiran” semua Wahabi pasti Khawaarij Takfiirii atau pasti Nawaashib, sehingga semuanya pasti sesat menyesatkan, apalagi sampai mengkafirkan mereka. Sikap seperti itu sangat gegabah dan amat tidak ilmiah, serta bukan sikap Aswaja.

Selain itu, dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta Kitab Hadits Aswaja lainnya terdapat “Perawi Khawaarij” dan “Perawi Nawaashib”, sehingga jika “mereka” dikafirkan, maka berarti ada “Perawi Kafir” dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta Kitab Hadits Aswaja lainnya.

Itu juga sangat berbahaya, karena juga bisa menjadi “Bumerang” yang menyerang balik dan menghancurkan Aswaja. Itu tidak dilakukan kecuali oleh mereka yang bodoh tentang Ilmu “Jarh wat Ta’diil” atau oleh “penyusup” yang pura-pura jadi Aswaja, padahal tujuannya merusak Aswaja.

Justru adanya riwayat Khawaarij dan Nawaashib dalam Kitab Hadits Aswaja, menunjukkan bahwa Aswaja dalam periwayatan Hadits memiliki Metode yang netral, adil, jujur dan amanat, serta jauh jauh dari sikap Fanatisme Madzhab.

Silakan baca kitab “Al-‘Itab Al-Jamiil ‘alaa Ahlil Jarhi wat Ta’diil” karya As-Sayyid Muhammad bin Aqil bin Yahya dengan tahqiq Sayyid Hasan bin Ali As-Saqqoof seorang Ahli Hadits dari Yordania dan ada juga dengan tahqiq DR.Alwi bin Hamid Syihab seorang Dosen Hadits di Universitas Hadromaut – Yaman.

Atau cari dan baca saja langsung dalam kitab-kitab Dirooyaat Hadits, nama-nama seperti: Umar bin Sa’ad, Zuhair bin Mu’awiyah, Ibrahim bin Ya’qub, Ishaq bin Suwaid, Tsaur bin Yazid, Hariiz bin Utsman, Hushoin bin Numair, Khalid bin Abdullah, Ziyad bin Jubair dan Ziyad bin ‘Alaaqoh. Mereka semua adalah Nawaashib para pembenci Ahli Bait Nabi SAW, tapi ditsiqohkan dan diterima riwayatnya oleh Ahli Hadits Aswaja.

Selain itu, masih ada “Perawi Khawaarij” dari berbagai sektenya seperti Ibaadhiyyah, Azaariqoh, Haruuriyyah dan Ash-Shufriyyah, antara lain: Jaabir bin Zaid, Juray bin Kulaib, Syabats bin Rib’i dan ‘Imraan bin Hiththoon. Dan ada juga “Perawi Murji-ah” yaitu Khalid bin Salamah dan “Perawi Qadariyyah” yaitu Tsaur bin Zaid. Mereka semua adalah Non-Aswaja, tapi ditsiqohkan dan diterima riwayatnya oleh Ahli Hadits Aswaja.

Inilah bukti bahwa Aswaja adalah Madzhab Islam yang Muhaayid (Netral) dan I’tidaal (Adill), serta Tawassuth (Pertengahan) dan Tawaazun (Seimbang), juga Tasaamuh (Toleran).

SYAIR IMAM SYAFI’I

Imam Syafi’i RA dalam “Diiwaan” nya pada halaman 20, menyusun beberapa Bait Syair untuk menyindir Roofidhoh yang selalu menuduh para pecinta Sayyiduna Abu Bakar RA sebagai Nawaashib, dan sekaligus juga menyindir Nawaashib yang selalu menuduh para pecinta Ahli Bait Nabi SAW sebagai Syiah Roofidhoh.

Berikut syairnya :

إذا نحن فضلنا عليا فإننا
روافض بالتفضيل عند ذي الجهل
وفضل أبي بكر إذا ما ذكرته
رميت بنصب عند ذكري للفضل
فلا زلت ذا رفض ونصب كلاهما
بحبيهما حتى أوسّد بالرمل

Jika kami memuliakan Ali maka sesungguhnya kami ..
Menurut orang bodoh adalah Rowaafidh lantaran memuliakannya.
Dan jika aku menyebut keutamaan Abu Bakar …
Maka aku dituduh Naashibah lantaran memuliakannya.
Maka aku akan tetap selalu menjadi Roofidhoh dan Naashibah sekaligus …
Dengan menyintai keduanya hingga aku berbantalkan pasir (mati).

ASWAJA

Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang disingkat “Aswaja” adalah bukan Syiah dan bukan juga Wahabi, serta bukan Roofidhoh dan bukan juga Nawaashib.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami rhm (w : 973 H) dalam kitab “Az-Zawaajir ‘an Iqtiroofil Kabaa-ir” halaman 82 mendefinisikan Aswaja sebagai berikut:

“المراد بالسنة ما عليه إماما أهل السنة والجماعة الشيخ أبو الحسن الأشعري و أبو منصور الماتريدي .”

“Yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah adalah yang dianut oleh dua Imam Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah yaitu Syeikh Abul Hasan Al-Asy’ari san Abu Manshur Al-Maaturiidii.”

Dan Imam Al-Murtadho Az-Zabiidii rhm (wafat : 1.205 H) dalam kitab “Ittihaafus Saadah Al-Muttaqiin” juz 2 hal. 6 menyatakan:

“إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد بهم الأشاعرة والماتريدية .”

“Jika disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara mutlaq, maka yang dimaksud adalah Kaum Asy’ari dan Kaum Maaturiidii.”

Hampir semua Ulama dan Fuqoha Madzhab Fiqih Hanafi mengikuti Madzhab Aqidah Maaturiidi, karena Imam Abu Manshur Al-Maaturiidii rhm menghimpun ajaran Aqidah Imam Abu Hanifah rhm dalam Madzhab Aqidah Maaturiidiyyah yang dibangunnya.

Dan hampir semua Ulama dan Fuqoha Madzhab Fiqih Maliki dan Syafi’i, serta sebagian Ulama dan Fuqoha Madzhab Fiqih Hanbali mengikuti Madzhab Aqidah Asy’ari, karena Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm menghimpun ajaran Aqidah Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, rohimahumullaah, dalam Madzhab Aqidah Asy’ariyyah yang dibangunnya.

Sebagian Ulama Hanbali mengklaim sebagai pengikut Madzhab Aqidah Ahli Hadits dan Atsar yang “dinisbahkan” kepada Imam Ahmad rhm. Mereka mengklaim sebagai Aswaja yang paling asli dan sejati. Kini, pengikut aliran ini banyak mendapat “label” sesuai aneka sebab kaitannya, antara lain :

Atsari: Karena mengklaim sebagai pengikut Ahli Atsar.Salafi: Karena mengklaim sebagai Madzhab paling Salaf.Wahabi: Karena menjadikan Pemikiran Tauhid Syeikh Muhammad b Abdul Wahhab sebagai rujukan utama.Khawaarij: Karena sering menyalahkan semua umat Islam yang tidak sejalan dengan mereka.Takfiirii : Karena sering mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.Nawaashib: Karena sering merendahkan Ahli Bait Nabi SAW dengan “dalih” bela Shahabat Nabi SAW, bahkan paling suka berteriak mengkafirkan dan memusyrikkan Ibu dan Ayah Nabi SAW.Musyabbih: Karena dalam mentafsirkan Sifat Allah SWT menyerupakan-Nya dengan Makhluq.Mujassim: Karena dalam mentafsirkan Sifat Allah SWT menjasmanikan Dzat Allah SWT dalam bentuk jasad Makhluq.

KESIMPULAN

Syiah dan Wahabi bukan “Agama”, tapi “Firqoh”, sehingga tidak tepat istilah “Agama Syiah” dan “Agama Wahabi”, bahkan istilah tersebut terlalu “Lebay”.

“Syiah Roofidhoh” dan “Wahabi Nawaashib” adalah Firqoh sesat menyesatkam yang sangat berbahaya, sehingga wajib diwaspadai oleh segenap Aswaja, dan harus dibendung penyebarannya, serta mesti dilawan penistaannya terhadap Ahlul Bait mau pun Shahabat Nabi SAW.

Sedang “Syiah Moderat” dan “Wahabi Moderat” yang berjiwa Reformis, mereka adalah saudara muslim yang wajib dihormati bukan dicaci, dirangkul bukan dipukul, diajak dialog bukan ditonjok, dilawan dengan dalil bukan dengan bedil.

Ada pun Aswaja adalah Madzhab Pecinta Ahlul Bait dan Shahabat Nabi SAW serta Para Salaf yang Sholihin. Dan Aswaja adalah Madzhab yang selalu terbuka untuk Peradaban Dialog yang berbasis Ilmu dan Akhlaq, dalam membangun Toleransi Antar Umat Islam dari berbagai Madzhab mau pun Firqoh.

Aswaja adalah Madzhab Islam yang Muhaayid (Netral) dan I’tidaal (Adil), serta Tawassuth (Pertengahan) dan Tawaazun (Seimbang), juga Tasaamuh (Toleran). Alhamdulillaah, Aswaja adalah “Firqoh Naajiyah” yang berjalan di atas jalan Rasulullah SAW dan Ahlil Baitnya serta Para Shahabatnya

Alhamdulillaahi Robbil ‘Aalamiin

penjelasan satu juta per KK

Teuku jail Aceh ni penjelasan tentang 1 juta per kk,JANJI KAMPANYE ZIKIR 1 JUTA/KK.

kampanye ZIKIR ttg Rp.1 JUTA/KK, ternyata setelah  telusuri rupanya Pak Muzakir manaf menyampaikan saat kampaye bhw:

"JIKA SEMUA BUTIR MoU HELSINKI DIREALISASI OLEH JAKARTA SEPERTI YG TLAH DISEPAKATI, MAKA UANG DARI DANA BAGI HASIL 70:30 SAJA, MAMPU KITA BERIKAN UTK RAKYAT ACEH Rp. 1 JUTA/KK"

dimana orang2 aceh sendiri malah lebih peduli dan terjebak sendiri ataupun mungkin juga mampu dijebakkan dan diadu-dombakan oleh org lain utk lebih mempermasalahkan uang 1 Juta/KK dari pada tdk ditepati janjinya jakarta terhadap MoU.
Padahal yg menjadi subtansi dan pokok permasalahannya adalah sdh 10 tahun Jakarta belum merealisasi smua janjinya sbg mana yg telah disepakati dlm MoU Helsenki

Seharusnya orang2 aceh tdk lebih memfokuskan diri utk lebih menyuarakan uang 1 Juta/KK dari pada tdk ditealisasinya MoU Helsenki oleh jakarta, apalgi uang 1 Juta/KK tdk akan membuat org aceh makmur & kaya, krn yg dpt membuat aceh makmur dan jaya adalah sistem kewenangan yg mandiri utk mengatur diri sendiri (self government) sbg mana yg telah disepakati dlm MoU Helsenki.

10 tahun sudah MoU berlalu!!!
10 tahun sudah MoU membeku!!!
Rakyat pun semakin hari semakin bisu!!!!

Kini saatnya rakyat aceh sadar diri utk memilih pemimpin aceh yg dpt merangkul smua elemen aceh dan juga yg hrs disegani serta bahkan yg ditakuti jakarta agar kekompakan rakyat aceh dan watak perlawanan orang aceh dpt menjadi pertimbangan dan nilai tawar bagi jakarta shg apa yg telah disepakati dlm MoU Helsenki dpt direalisasikan seutuhnya.

Jangan saling menfitnah dan berpecah-belah dlm mencari pemimpin aceh yg sempurna, krn Allah telah sengaja menciptakan manusia itu tdk ada sempurna, agar manusia tau diri dan dpt bersatu padu dlm kebersamaan utk saling mengisi dan menutupi kekurangannya, shg kebersamaan manusia dan kekompakan rakyat akan menjadi sebuah kesempurnaan dan kekuatan yg sangat amat dasyat.!!!!

penjelasan tentang Wahabi

Nama wahabi bukan dari syi'ah tapi dari keluarganya sendiri

"Sebutan "Wahhabi" adala ciptaan sekte Syi'ah untuk menipu kaum muslimin sejak lama. Karenanya jangan heran jika anda Anti Syi'ah pasti akan disebut "Wahhabi"., begitulah petikan palsu yang dinisbatkan sebagai perkataan Dr. Zakir Naik dan tersebar di jejaring sosial facebook.

Zakir Naik adalah seorang pembicara umum Muslim India, dan penulis hal-hal tentang Islam dan perbandingan agama. Ia sering kali terlibat dalam debat antar perbandingan agama.

Tetapi sebagai pendebat perbandingan agama, ia kurang memberikan perhatian terhadap perbedaan yang ada didalam internal umat Islam. Ia tidak mampu / gagal membedakan antara firqah/iftiraq dan ikhtilaf yang ada dalam tubuh umat Islam. Dari segi pemahaman, ia lebih dekat kepada Wahabi.

Kegagalan memahami mana firqah dan madzhab, terbukti ketika ia mengatakan bahwa "Sayang sekali saat ini ada banyak kelompok muslim; Syi'ah, Sunni, Hanafi, Syafi'i, Hanbali, dan lain-lain, Termasuk group manakah Rasulullah?. Tidak ada Syi'ah dalam al-Qur'an"., dalam salah satu rekaman video dialognya.

Berkaitan dengan perkataan yang dinisbatkan kepada Dr. Zakir Naik diatas hanyalah hoax yang tidak jelas sumbernya. Sebaliknya, dalam banyak penjelasannya, Dr. Zakir Naik justru menafikan semua aliran dalam Islam, bahkan termasuk madzhab-madzhab fiqh. 

BENARKAH SEBUTAN "WAHHABI" CIPTAAN SYI'AH?

Perkataan itu jelas hoax alias bohong besar
Hal itu hanya salah satu cara yang dilakukan Wahhabi untuk menolak sebutan Wahabi pada mereka, sekaligus salah satu cara membuat kesan seakan yang menyebut wahhabi adalah Syi'ah. Saat ini mereka sedang gencar-gencarnya menuduh syi'ah secara membabi buta kepada siapapun.

Banyak alasan yang digunakan Wahhabi untuk menolak sebutan Wahhabi, mulai dari nisbat yang dianggap salah, menghina salah satu nama Allah (Al-Wahhab), salah nisbat yang konon pendirinya adalah Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum, sampai konon katanya pencetus pertama nama Wahhabi adalah orientalis. Sekarang mereka buat kedustaan lagi dengan mengatakan pencipta nama Wahhabi adalah Syi'ah.

Siapa Yang Pertama Kali Memberi Sebutan "Wahhabi" ?

Yang pertama kali menyebut istilah Wahhabi adalah kakak kandung dari Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri yaitu

Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Najdi al-Hanbali.

    
Cover kitab pertama yang membantah ajaran Wahhabi


الصواعق الالهية في الرد على الوهابية تاليف الشيخ سليمان بن عبدالوهاب النجدي,  شقيق محمد بن عبدالوهاب

Ash-Shawaiq Al-Ilahiyah fir Raddi ala Wahhabiyyah / Petir-Petir Ilahi Dalam Membantah Paham Wahhabi, karya Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Najdi, kakak dari Muhammad bin Abdul Wahhab.

Beliau menulis kitab berjudul al-Shawaiq al-Ilahiyyah fi Raddi alal Wahhabiyah dalam rangka membantah dan meluruskan ajaran menyimpang adiknya itu. 

Penamaan itu lalu dikuti oleh seluruh ulama Islam lainnya dalam membantah paham Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Jadi, istlah / sebutan / penamaan Wahhabi bukan berasal dari Syi'ah, bukan berasal dari orang non-Islam, atau lainnya. Sebaliknya, berasal dari umat Islam, Ahlussunnah wal Jama'ah, pengikut madzhab Hanbali, dan dari keluarga sendiri yaitu Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab.

Pengkafiran terhadap kaum Muslimin terus dilakukan oleh ulama Wahhabi dewasa ini. 

Dalam kitab Kaifa Nafhamu al-Tauhid, karangan Muhammad bin Ahmad Basyamil, disebutkan:

عَجِيْبٌ وَغَرِيْبٌ أَنْ يَكُوْنَ أَبُوْ جَهْلٍ وَأَبُوْ لَهَبٍ أَكْثَرَ تَوْحِيْدًا للهِ وَأَخْلَصَ إِيْمَانًا بِهِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَوَسَّلُوْنَ بِاْلأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَيَسْتَشْفِعُوْنَ بِهِمْ إِلَى اللهِ. أَبُوْ جَهْلٍ وَأَبُوْ لَهَبٍ أَكْثَرُ تَوْحِيْدًا وَأَخْلَصُ إِيْمَانًا مِنْ هَؤُلاَءِ الْمُسْلِمِيْنَ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ. (محمد بن أحمد باشميل، كيف نفهم التوحيد، ص/١٦).

“Aneh dan ganjil, ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya kepada Allah dan lebih murni imannya kepada-Nya dari pada kaum Muslimin yang bertawassul dengan para wali dan orang-orang saleh dan memohon pertolongan dengan perantara mereka kepada Allah. Ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya dan lebih tulus imannya dari mereka kaum Muslimin yang mengucapkan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah.” (Muhammad bin Ahmad Basyamil, Kaifa Nafhamu al-Tauhid, hal. 16).

Belakangan, dari kaum Wahhabi tidak sedikit terlontar pernyataan tokoh-tokoh mereka yang menistakan generasi salaf secara parsial (juz’i). Contoh :

Syaikh Nashir al-Albani dalam fatwanya mengkafirkan al-Imam al-Bukhari karena melakukan ta’wil terhadap ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Dalam kitab al-Tawassul Ahkamuhu wa Anwa’uhu, al-Albani juga mencela Sayyidah ‘Aisyah, dan menganggapnya tidak mengetahui kesyirikan.

Syaikh Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan al-Ghamidi, menganggap al-Imam al-Hafizh al-Lalika’i, pengarang kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tidak bersih dari kesyirikan.

Demikian sekelumit contoh penistaan tokoh-tokoh Wahhabi terhadap generasi salaf dan para ulama terkemuka secara parsial.

Pendapat Para Ulama Madzhab Tentang Wahhabi

Ulama Madzhab Hambali

Dari kalangan ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:

عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ سُلَيْمَانَ التَّمِيْمِيُّ النَّجْدِيُّ وَهُوَ وَالِدُ صَاحِبِ الدَّعْوَةِ الَّتِيْ انْتَشَرَشَرَرُهَا فِي اْلأَفَاقِ لَكِنْ بَيْنَهُمَا تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا لَمْ يَتَظَاهَرْ بِالدَّعْوَةِ إِلاَّ بَعْدَمَوْتِ وَالِدِهِ وَأَخْبَرَنِيْ بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ عَمَّنْ عَاصَرَ الشَّيْخَ عَبْدَالْوَهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ غَاضِبًا عَلىَ وَلَدِهِ مُحَمَّدٍ لِكَوْنِهِ لَمْ يَرْضَ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالْفِقْهِكَأَسْلاَفِهِ وَأَهْلِ جِهَتِهِ وَيَتَفَرَّسُ فِيْه أَنَّهُ يَحْدُثُ مِنْهُ أَمْرٌ .فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ: يَا مَا تَرَوْنَ مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ وَكَذَلِكَ ابْنُهُ سُلَيْمَانُ أَخُوْ مُحَمَّدٍ كَانَ مُنَافِيًا لَهُ فِيْ دَعْوَتِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ رَدًّا جَيِّداًبِاْلآَياَتِ وَاْلآَثاَرِ وَسَمَّى الشَّيْخُ سُلَيْمَانُ رَدَّهُ عَلَيْهِ ( فَصْلُ الْخِطَابِ فِي الرَّدِّ عَلىَمُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ ) وَسَلَّمَهُ اللهُ مِنْ شَرِّهِ وَمَكْرِهِ مَعَ تِلْكَ الصَّوْلَةِ الْهَائِلَةِ الَّتِيْأَرْعَبَتِ اْلأَبَاعِدَ فَإِنَّهُ كَانَ إِذَا بَايَنَهُ أَحَدٌ وَرَدَّ عَلَيْهِ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى قَتْلِهِ مُجَاهَرَةًيُرْسِلُ إِلَيْهِ مَنْ يَغْتَالُهُ فِيْ فِرَاشِهِ أَوْ فِي السُّوْقِ لَيْلاً لِقَوْلِهِ بِتَكْفِيْرِ مَنْ خَالَفَهُوَاسْتِحْلاَلِ قَتْلِهِ. اهـ (ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).

“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi. Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Syaikh Sulaiman menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).

Ulama Madzhab Syafi'i

Dari kalangan ulama madzhab Syafi’i, al-Imam al-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, guru pengarang I’anah al-Thalibin, kitab yang sangat otoritatif (mu’tabar) di kalangan ulama di Indonesia, berkata:

وَكَانَ السَّيِّدُ عَبْدُ الرَّحْمنِ الْأَهْدَلُ مُفْتِيْ زَبِيْدَ يَقُوْلُ: لاَ يُحْتَاجُ التَّأْلِيْفُ فِي الرَّدِّ عَلَى ابْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ، بَلْ يَكْفِي فِي الرَّدِّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم سِيْمَاهُمُ التَّحْلِيْقُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ أَحَدٌ مِنَ الْمُبْتَدِعَةِ اهـ (السيد أحمد بن زيني دحلان، فتنة الوهابية ص/٥٤).

“Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, mufti Zabid berkata: “Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”. Karena hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan ahli bid’ah.” (Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah, hal. 54).

Ulama Madzhab Maliki

Dari kalangan ulama madzhab al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai berikut:

هَذِهِ اْلآَيَةُ نَزَلَتْ فِي الْخَوَارِجِ الَّذِيْنَ يُحَرِّفُوْنَ تَأْوِيْلَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَيَسْتَحِلُّوْنَ بِذَلِكَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمْوَالَهُمْ كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ اْلآَنَ فِيْ نَظَائِرِهِمْ وَهُمْ فِرْقَةٌ بِأَرْضِ الْحِجَازِ يُقَالُ لَهُمُ الْوَهَّابِيَّةُ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ عَلىَ شَيْءٍ أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ الْكَاذِبُوْنَ. (حاشية الصاوي على تفسير الجلالين، ٣/٣٠٧).

“Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).

Demikian pernyataan ulama terkemuka dari empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, yang menegaskan bahwa golongan Wahhabi termasuk Khawarij bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

Tentu saja masih terdapat ratusan ulama lain dari madzhab Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menyatakan bahwa Wahhabi itu Khawarij dan tidak mungkin kami kutip semuanya. 

Semoga semua jauh dari wahabi