Assalamu’alaikum wr,wb.
Ustad, sudah lama ana ingin
menannyakan masalah ini, tapi belum
ketemu jawabannya, mudah-mudahan
kali ini bisa terjawab.
Informasi ini ana dapatkan dari teman
ana (seorang da’i) tahun 2003. Teman
ana tersebut menyampaikan bahwa suku
“MELAYU” sesungguhnya adalah hasil
konspirasi Penjajah Belanda untuk
menghancurkan kerajaan-kerajaan Islam
dan Umat Islam pada masa penjajahan
dulu. Kata MELAYU berasal dari kata
dasar “LAYU” yang artinya “Lemah/tidak
berkembang” dan mendapat imbuhan
“me” yang berarti “Menjadi Lemah/Tidak
Berkembang”. Ibarat Bunga yang
Melayu.
Yang selama ini kita ketahui bahwa suku
MELAYU adalah salah satu pecahan
rumpun Melanesia (Mohon Kereksi bila
salah) yang tersebar hingga
semenanjung Malaysia.
Informasi tersebut terungkap saat teman
ana membaca lembaran buku tua
(tulisan arab gundul) peninggalan
Mertua, dirumah mertuanya di Sambas-
Kalimantan Barat tahun 1999, dan
kondisi buku saat itu sudah rusak, hanya
beberapa lembar saja yang bisa dibaca,
sayangnya lagi saat itu tak terfikirkan
untuk didokumentasi. Dan judul buku
tersebut, artinya kurang lebih “Sejarah
Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara”.
Dalam lembaran buku yang dapat dibaca
dan dipahami maksudnya
menggambarkan tentang Konspirasi
Penjajah Belanda untuk mengalahkan
kerajaan-kerajaan Islam yang ada di
Nusantara. Pada masa kejayaan
Beberapa Kerajaan Islam di Nusantara,
Penjajah Belanda kesulitan untuk
mengalahkan langsung dengan cara
perang fisik.
Untuk mengalahkan Kerajaan Islam
tersebut, maka peran Snough Hogronye
sangat besar untuk menyusun strategi
perang, meskipun memakan waktu
cukup lama. Karena Snough Hogronye
tahu bahwa Orang Islam tidak bisa
dikalahkan dengan cara perang fisik.
Maka Snough Hogronye menggunakan
strategi perang “mengubah pemikiran”
melalui penggantian nama.
Strateginya adalah dengan cara
mengganti Nama-nama kerajaan Islam
dengan menambahkan kata “Melayu” ,
misalnya “Kerajaan Islam Samudra
Pasai” menjadi “Kerajaan Islam ‘Melayu’
Samudra Pasai” dan penduduk/orang
Muslim diganti dengan nama Penduduk/
orang Melayu. Strategi ini dilakukan
terus-menerus tanpa lelah, meskipun
memakan waktu yang cukup lama. Dan
hasilnya memang cukup memuaskan,
yaitu dengan runtuhnya satu persatu
kerajaan Islam pada masa itu.
Bahkan dampak sistemiknya sampai
saat ini masih dirasakan, dimana
sebagian Masyarakat Indonesia yang
masih kuat dengan kesukuan “Melayu”
semangat Ke Islamannya lemah (kecuali
yang sudah faham). Dan ana merasa
khawatir saudara-saudara kita yang
bersuku “Melayu” senantiasa
mendo’akan dirinya sendiri untuk
menjadi Lemah di semua bidang.
Untuk itulah ana mohon penjelasan
Ustad, tentang ungkapan ana diatas
Apakah kata “MELAYU” itu adalah
konspirasi atau bukan. Bila mungkin ada
bukti sejarah yang menguatkan.
Wassalam.
wa’alaykumsalam wr.wb.
Saudara Abu Hantaz yang dirahmati oleh
Allah, nama Melayu dalam sejarah
memiliki catatan kompleks. Beberapa
bukti historis menyatakan bahwa dibalik
nama Melayu ada durasi panjang
sejarah peradaban jauh sebelum Belanda
datang lewat penjajahannya. Portal
Pendidikan Malaysia, misalnya,
medelegasikan bahwa asal muasal Suku
dan nama Melayu sudah ada minimal
dari abad ke 7. Bukti ini diambil dari
sebuah kronik berjudul T’ang-hui-yao
karya Wang P’u.
Dalam Kronik itu dikisahkan bahwa
orang-orang China pernah menyatakan
bahwa sebuah kerajaan Mo-lo-yeu
mempersembahkan hasil bumi kepada
Raja mereka pada sekitar tahun 644-645
Masehi.
Rekayasa Peradaban Hubungan Islam
dengan Melayu Oleh Orientalis
Pertanyannya kemudian adalah
dimanakah Kerajaan Mo-lo-yeu tersebut
dan apa perannya bagi peradaban
Melayu? Dimanakah letak Kerajaan Mo-
le-yeu kala itu agar kita bisa
mengkaitkan pertanyaan ini bersamaan
dengan muasal kata Melayu yang
saudara pertanyakan.
Menurut catatan Wikipedia, Kerajaan
tersebut dipercayai berpusat di daerah
Jambi, Sumatera. Hal ini diperkuat
dengan adanya prasasti Kedukan Bukit
yang berasal dari Bukit Siguntang,
Palembang. Prasasti ini diperkirakan
merupakan catatan tertua tentang
bahasa Melayu. Bahasa Melayu Kuno
juga tumbuh subur di Kerajaan Sriwijaya
yang menyebar hingga selatan Thailand
dan Filipina, dan karena perdagangan
serta perniagaan, bahasa Melayu
mencapai bumi Papua.
Memang telah jadi pengetahuan umum
bahwa kerajaan Melayu sebelum Islam
datang sangat bercorak Hindu-Budha.
Doktrin inilah kemudian yang nantinya
akan berkaitan pertanyaan saudara
seterusnya tentang mengapa bangsa
Melayu Muslim ini lemah sampai saat
ini.
Para orientalis Belanda memang sangat
gencar menyatakan bahwa agama Islam
di Melayu tidak lah membawa peradaban
apa-apa. Menurut mereka, hasil
peradaban Islam tidak lebih adalah
imitasi dan inflitrasi kerajaan Hindu yang
sempat eksis sebelumnya. Padaha
menurut JC Van Leur dalam bukunya
“Indonesian Trade and Society” (The
Hague: W. van Hoeve. 1955),
menjelaskan bahwa pada dasarnya
penyebaran agama Hindu di kalangan
Kerajaan Melayu saat itu pun juga hanya
dianut segelintir kalangan dan terpusat
hanya pada kalangan bangsawan dan
ningrat kerajaan. Sedangkan rakyat
biasa terlihat abai untuk memeluk ajaran
Hindu.
Bahkan Van Leur juga mengatakan
golongan bangsawan pun tidak betul-
betul faham akan hakikat ajaran Hindu
secara makna dan isinya. Mereka baru
akan terlibat menjadi pemeluk Hindu
sejati pada beberapa perkara tertentu,
seperti praktik-praktik pemujaan dewa-
dewa. Hal ini dilakukan demi
kepentingan pribadi agar mereka
dipandang sebagai titisan dewa oleh
Masyarakat.
Sayyid Naquib Al Attas, seorang pengkaji
Peradaban Melayu dai ISTAC-IIUM
Malaysia, dalam bukunya “Islam dalam
Sejarah dan Kebudayaan
Melayu” (Universiti Kebangsaan
Malaysia, Kuala Lumpur: 1972)
memperkuat thesis Van Leur tersebut. Al
Attas menilai bahwa penganutan agama
Hindu oleh kalangan raja-raja dijalankan
semata-mata untuk memperkukuh
kedudukan golongan raja dan
bangsawan di puncak lapisan struktur
masyarakat. Motif politik akan
kekuasaan membuat para raja sangat
rajin jika ajaran Hindu berbicara
penyembahan dewa-dewa.
Falsafah agama Hindu, lanjut Al Attas,
bahkan tidak memiliki pengaruh kuat
bagi masyarakat Melayu-Indonesia.
sebab masyarakat Melayu-Indonesia
lebih cenderung menerima sifat Hindu
pada dimensi kesenian saja. Sedangkan
ketika berbicara pada makna, konsep,
serta falsafah Hindu banyak masyarakat
Melayu kala itu tidak paham. Mereka
tidak tahu mendalam tentang
karakeristik agama Hindu. Namun
kendati demikian, anehnya Van Leur
justru menyatakan peradaban Hindu
sebagai peradaban utama bangsa
Melayu di atas peradaban lainnya.
Apa implikasi ketika kita menerima thesis
Van Leur? Melayu akhirnya dicirikan
lebih dekat ke ajaran Hindu, ketimbang
Islam. Bahkan untuk semakin
meyakinkan publik, para orientalis
Belanda yang sejalan dengan misi
kolonialisme, seperti Snouck Hugronje,
WF Sttutterheim, Bernard HM Vlekke,
Clifford Geertz, Harry J Benda dan John
Bastin mengklaim bahwa perkembangan
Islam sejalan dibawah “asuhan” ajaran
Hindu. Argumen ini dibuktikan ketika
prosesi masuknya Islam ke bumi
nusantara berawal dari inisiasi kelompok
Gujarat dari India pada abad ke 13 M.
Klaim orientalis Belanda tersebut bisa
dikatakan sebagai manipulasi sejarah.
Dengan menaruh kata Gujarat India
sebagai awal masuknya Islam ke Melayu
akan berdampak pada orisinalitas ajaran
Islam itu sendiri. Hal ini yang kemudian
menjadi klausul Cliford Gerrtz dalam
“The Religion of Java” (1960) yang
mensinyalir bahwa perkembangan
ajaran Islam di Indonesia diwarnai oleh
ajaran Hindu, Budha dan bahkan
animisme, sebagai ajaran-ajaran yang
telah lama berkembang di Indonesia
sebelum Islam.
Kenyataan ini lahir dari akibat putusnya
hubungan Indonesia dengan negara
sumber Islam, yakni Makkah dan Kairo.
Sehingga terlihat praktik mistik Budha
yang diberi nama Arab, Raja Hindu
berubah namanya dengan Sultan,
sedangkan rakyat kebanyakan masih
mempraktikkan ajaran animisme.
Van Leur pun memiliki kesamaan sikap
dengan Geertz. Ia menyatakan semakin
jelas bahwa Islam tidak membawa apa-
apa bagi masyarakat Melayu karena
peradaban sebelumnya sudah dibangun
oleh Hindu.
Betulkah demikian? Memang tak dapat
kita pungkiri Melayu dahulunya
didominasi oleh Hindu. Namun kita
jangan lupa, pada tahun 30 Hijri atau
651 Masehi, hanya berselang sekitar 20
tahun dari wafatnya Rasulullah SAW,
Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim
delegasi ke Cina untuk memperkenalkan
Daulah Islam yang belum lama berdiri.
Dalam perjalanan yang memakan waktu
empat tahun ini, para utusan Utsman
ternyata sempat singgah di Kepulauan
Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah
telah mendirikan pangkalan dagang di
pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan
pertama penduduk Indonesia dengan
Islam. Sejak itu para pelaut dan
pedagang Muslim terus berdatangan,
abad demi abad. Mereka membeli hasil
bumi dari negeri nan hijau ini sambil
berdakwah.
Islam juga yang waktu demi waktu
semakin diterima warga nusantara.
Eksosdus besar-besaran warga
memeluk Islam menjadi pemandangan
nyata sehari-hari kala itu. Aceh Barat
kemudian adalah daerah yang kali
pertama menerima agama Islam.
Bahkan di Acehlah kerajaan Islam
pertama di Indonesia berdiri, yakni
Pasai.
Berita dari Marcopolo menyebutkan
bahwa pada saat persinggahannya di
Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah
banyak orang Arab yang menyebarkan
Islam. Begitu pula berita dari Ibnu
Battuthah, pengembara Muslim dari
Maghribi., yang ketika singgah di Aceh
tahun 746 H / 1345 M menuliskan
bahwa di Aceh telah tersebar mazhab
Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari
kaum Muslimin yang ditemukan di
Indonesia terdapat di Gresik, Jawa
Timur.
Tertutupnya Fakta Sumbangsih
Peradaban Islam di Melayu
Ketika klaim peranan Hindu lebih nyata
ke Melayu ketimbang Islam, inilah yang
sebenarnya salah satu cara melemahkan
kaum muslim di Melayu. Padahal
sejatinya, sebuah peradaban suskes
bukan diindikasikan dari batu-batu,
candi, seni, namun keilmuan, falsafah,
dan keagamaan.
Prasyarat model peradaan seperti ini
mustahil bisa dilakukan oleh Hindu.
Hindu tidak memberi peradaban berarti
di dunia Melayu, selain hanya
membangun bebatuan, seni-seni dan
bangunan. Masih dalam bukunya Islam
dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu
Al Attas akhirnya berujar untuk melihat
semakin ke dalam terhadap polemik ini:
“Memang benar kesenian adalah suatu
chiri yang mensifatkan tamaddun,
namun pandangan hidup yang
berdasarkan kesenian itu adalah
semata2 merupakan kebudayaan estetik,
kebudayaan klasik, yang dalam pene
litian konsep perabadan sejarah bukan
menandakan suatu masharakat yang
bersifat keluhuran budi dan akal serta
pengetahuan ilmiah. Bahkan Sejarah
telah mengajar bahwa semakin indah
dan rumit gaya senirupa, maka semakin
menandakan kemerosotan budi dan
akal; Acropolis Yunani, Persepolis Iran,
dan Pyramid2 Mesir tiada menyorot-kan
sinaran budi dan akal.”
Berbeda dengan Hindu yang tidak
memeberi sumangsis keilmaun bagi
Melayu. Islam justru melakukan hal yang
tidak bisa dilakukan oleh Hindu kepada
suku Melaku. Kita ketahui seorang
ulama bernama Syeikh Daud al-Fathani.
Ulama dari Pattani, Thailand Selatan
adalah ulama yang memiliki karya tulis
yang kaya dengan ilmu. Pada zaman itu,
Ulama kenamaan aseli Melayu ini telah
menulis buku tentang tata cara
melakukan pemisahan serta
merumuskan formula kimia untuk
menghasilkan sintesis bahan baru.
Ia juga mengarang bughyah ath-Thullab
li Murid Ma’rifah al-Ahkam bi ash-
Shawab, tanpa tarikh. Syeikh Daud juga
memperkenalkan pelbagai hadis
mengenai ilmu pengetahuan. Selepas itu,
ia memperkenalkan riwayat ringkas
Imam al-Syafie.
Islam juga ramai mengisi kedekatan
seorang warga kepada Allah sekaligus
memperdalam ilmu bagi masyarakat.
Dulu umat melayu muslim telah cakap
melakukan kajian kitab-kitab di surau,
langgar, masjid, atau di kalangan istana.
Bahkan sudah tumbuh sebuah
peradaban yang benar-benar
mempraktikkan kontekstualisasi fikih
seperti yang terpapar pada diri Syeikh
Muhammad Arshad al-Banjari, seorang
ulama besar dari Kalimantan Selatan.
Bahkan menurut DR. Adi Setia, pengkaji
peradaban Melayu lainnya Malaysia
menjelaskan bahwa pada abad ke 17,
telah ada jaringan ulama Nusantara
yang berfungsi sebagai penyebar ilmu
dan keintelektualan Islam di Melayu.
Para ulama ini berperan besar dalam
menunjang kemajuan dan peradaban
Islam.
Di antara ulama itu antara lain Syekh
Ahmad Al Fathani, Syekh Nik Mat Kecik
Al Fathani, dan Syekh Ahmad Khatib
Abdul Latif al-Minangkabawi. Jasa-jasa
mereka sangat besar dalam
menanamkan nilai-nilai keislaman
melalui kajian keilmuan. Para ulama itu
menyebar dari Kelantan-Pattani,
Terengganu, Pontianak, Sambas,
Sumbawa, Makasar, Minangkabau,
Kedah, Lingga, dan sebagainya.
Selanjutnya, sampai awal abad 20,
gerakan ulama mengembangkan ilmu
lewat pendidikan agama tidak pernah
surut. Apalagi waktu itu sudah terjadi
hubungan yang kuat dengan pusat-pusat
kebudayaan Islam di al-Haramain atau
Tanah Arab, Mesir, Turki, juga di India
dan Pakistan.
Dalam bidang kedokteran, para ulama
Melayu juga mengarang banyak buku
tentang pengobatan yang ramuanya dari
tumbuh-tumbuhan alam Melayu.
Pengobatan model seperti ini sekarang
dikenal dengan nama pengobatan herba.
Dan, dalam kenyataanya, pengobatan ini
tidak menimbulkan efek sebagaimana
yang terjadi pada pengobatan Barat.
Bahkan, Barat sendiri sudah mulai
melirik pengobatan seperti ini.
Memang tanah Melayu belum pernah
melahirkan seorang ulama sekaliber
ash-Syafi’i atau al-Ghazali. Namun,
setidaknya sudah melahirkan ulama
kelas dunia seperti Syeikh Nawawi al-
Bantani yang karya-karyanya menjadi
rujukan para ulama Hijaz.
Bukan Penamaan, Tapi Lunturnya
Tradisi Keilmuan
Alhasil kemunduran Umat Islam di
Melayu saat ini, sangat kecil
pertaruhannya jika sekedar penamaan
Melayu, namun yang paling penting
menurut kami, lebih dikarenakan
semakin jauhnya Umat Islam Melayu dari
tradisi keilmuan yang dibangun oleh
para ulamanya. Oleh karenanya, kita
saksikan betapa Umat Melayu minder
akan status keIslamannya kepada Barat.
Anak-anak kita di sekolah tidak diajarkan
fakta sejarah relasi peradaban Islam ke
Melayu. Kita pun selama ini dininak-
bobokan oleh kisah-kisah yang dibuat
oleh orientalis akan jatidiri lebih lekatnya
Hindu, ketimbang Islam, di bumi
nusantara ini.
Faktor inilah yang kemudian
mengeleminir kebanggan seorang
muslim akan agamanya. Sayang kita
masih belum sadar untuk belajar.
Semoga umat Islam di Melayu semakin
bangkit dan sadar akan kekeliruannya
selama ini, dengan kembali ke ajaran
Islam dan menjadikan Qu’an dan
Sunnah sebagai pedoman kehidupan.
Wallahua’lam
Rabu, 12 Maret 2014
Konspirasi dibalik nama Melayu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar